Daftar Isi
- Pengertian dan Latar Belakang Post Modernisme
- Tokoh-tokoh Utama dan Pemikirannya
- Perspektif Post Modernisme tentang Kebenaran dan Pengetahuan
- Dampak Post Modernisme dalam Dunia Pendidikan
- Pergeseran Politik Identitas dalam Kerangka Post Modernisme
- Post Modernisme dan Pendekatan Baru terhadap Sejarah
- Teknologi dan Kemajuan dalam Pandangan Post Modernisme
- Kesimpulan
- Daftar Pustaka
Pengertian dan Latar Belakang Post Modernisme
Post Modernisme adalah gerakan intelektual yang muncul sebagai respons terhadap modernisme. Kata "modern" sendiri bermakna "up to date" atau "sekarang", sehingga post-modernisme dapat diartikan sebagai sesuatu yang setelah sekarang, selalu berubah seperti kehidupan yang mengalir1. Suatu pandangan yang mungkin terdengar paradoksal — bagaimana mungkin kita berada di masa "setelah sekarang"? Tapi disinilah letak keunikan dari pemikiran post-modern yang senantiasa menantang kategori-kategori mapan.
Para tamu-tamu pemikiran post-modernisme pertama kali berkembang dari kelompok kiri jauh dalam spektrum politik. Richard Appignanesi dan Chris Garatt mengartikan post-modernisme sebagai hasil dari modernisme, akibat modernisme, anak modernisme, perkembangan dari modernisme, penyangkalan atau penolakan terhadap modernisme2. Kata "akibat" disini menunjukkan bagaimana post-modernisme muncul bukan dalam kekosongan, tetapi sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap paradigma modernisme yang dianggap gagal mewujudkan cita-citanya yaitu reason (akal), nature (alam), happiness (kebahagiaan), progress (kemajuan), dan liberty (kebebasan)3.
Kevin O'Donnell menyatakan bahwa postmodernisme adalah gerakan intelektual yang berusaha menunjukkan bahwa dunia sedang berubah dan kita sedang memasuki era historis baru4. Pernyataan ini menunjukkan bahwa post-modernisme tidak sekedar kritik terhadap modernisme, tapi juga mengandung dimensi temporal — sebuah kesadaran akan peralihan zaman. Post-modernisme memiliki cara pandang yang unik, yang kadang menyimpang dri pola pikir tradisional, kadang tumpang tindih dengan paradigma lain. Kalau kita cermati lebih dalam, gerakan ini menyebarkan pengaruhnya melalui universitas ke masyarakat luas karena para mahasiswa yang terpapar ideologi ini kemudian menjadi guru, jurnalis, pengacara, dan politisi.
Tokoh-tokoh Utama dan Pemikirannya
Michel Foucault dan Relasi Kuasa-Pengetahuan
Salah satu tokoh sentral dalam gelombang pertama Post Modernisme adalah Michel Foucault. Foucault yang memiliki latar belakang filsafat, bersama Jacques Derrida dan Richard Rorty, telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pemikiran post-modern. Si pemikir berkebangsaan Prancis ini menekankan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, di mana kebenaran diproduksi oleh mekanisme kekuasaan dan pengetahuan5. Penekanan pada relasi kuasa-pengetahuan ini menjadi salah satu ciri khas pemikiran post-modern yang kemudian banyak mempengaruhi berbagai bidang kajian.
Dalam perspektif Foucault, sejarah bukanlah narasi linear yang bergerak maju dengan logika tertentu. Ia menekankan genealogi sebagai pendekatan yang menganalisis diskontinuitas dan kontradiksi dalam sejarah6. Berbeda dengan pendekatan sejarah konvensional yang berfokus pada "peristiwa-peristiwa besar", Foucault lebih memperhatikan "elemen plebeian", yang mencerminkan keinginan untuk memahami pengalaman-pengalaman yang sebelumnya diabaikan dalam narasi sejarah7. Pendekatan ini bukan hanya sekedar menambahkan perspektif baru, tapi sebenarnya merombak cara kita memahami bagaimana pengetahuan dan kuasa beroperasi dalam masyarakat.
Jean Baudrillard dan Konsep Simulacra
Jean Baudrillard, tokoh penting post-modernisme lainnya, mengenalkan konsep simulacra dan hyperrealitas yang menggambarkan dunia yang dipenuhi tanda-tanda dan citra tanpa rujukan pada realitas8. Kerangka pemikiran Baudrillard ini mengaburkan batas antara kebenaran objektif dan perspektif subjektif, sehingga semua pandangan dianggap sekadar konstruksi sosial. Dalam dunia yang dipenuhi simulacra, realitas tidak lagi bisa dibedakan dengan representasinya — sebuah kondisi yang menurut Baudrillard menjadi ciri khas masyarakat konsumen kontemporer.
Sementara itu, Fredrick Jameson, seorang kritikus literatur bermazhab Marxisme, menawarkan perspektif berbeda dengan menganggap postmodernisme bukan sebagai peralihan dari kapitalisme melainkan ekspansi dari modernisme9. Pandangan Jameson ini menarik karena menunjukkan bahwa post-modernisme tidak selalu berarti penolakan total terhadap modernisme, tapi justru bisa dimaknai sebagai kelanjutan atau pengembangan dari beberapa aspek modernisme. Perjalanan kaki menyehatkan badan, begitu juga perkembangan pemikiran postmodern yang terus bergerak mencari formulasi-formulasi baru dalam memahami realitas sosial dan budaya.
Perspektif Post Modernisme tentang Kebenaran dan Pengetahuan
Dalam kerangka postmodernis, gagasan tentang kebenaran objektif yang dapat diakses melalui dialog rasional antar individu ditolak sebagai tidak mungkin. Post-modernisme menolak dikotomi subjek-objek yang kaku dalam metodologi keilmuan modern, dan lebih memilih paradigma relasional di mana subjek dan objek saling mempengaruhi10. Pandangan ini mendorong pemikiran bahwa individu tidak lagi dilihat sebagai agen rasional yang dapat terlibat dalam percakapan bermakna, melainkan sebagai produk dari kelompok sosial mereka.
Pemikiran postmodernis menolak pembedaan tradisional antara bahaya fisik dan bahaya psikologis, dengan menyamakan efek dari keduanya. Post Modernisme mengaburkan batas antara perkataan yang menyakitkan dan kekerasan fisik, dengan implikasi bahwa keduanya sama-sama berbahaya. Dalam perspektif postmodernis, jika pandangan dunia yang disampaikan salah atau jahat, komunikator dianggap menyebabkan bahaya nyata pada pendengarnya. Dampak dari pandangan ini sangat terasa dalam diskusi publik di ruang akademik, dimana setiap tahunnya hanya menghasilkan sekitar 200 perdebatan bermakna yang memperkaya wacana intelektual.
Post Modernisme melihat subjektivitas sebagai dasar interaksi sosial, menggantikan objektivitas yang dahulu digunakan sebagai landasan bersama. Menurut postmodernisme, jika tidak bisa berargumen secara rasional, konflik sosial akan berubah menjadi perjuangan kekuasaan dan kekerasan fisik. Soal ujian ini sulit sekali untuk dipahami jika kita tidak melihat konsekuensinya: Post Modernisme berperan dalam membangun perspektif bahwa manusia tidak mampu berpikir untuk diri mereka sendiri tentang masalah politik dan kultural penting. Pandangan ini mengimplikasikan bahwa pemikiran dan pengetahuan selalu terikat pada struktur kekuasaan dan tidak pernah benar-benar objektif.
Dampak Post Modernisme dalam Dunia Pendidikan
Post Modernisme menolak konsep liberal education yang bertujuan mengembangkan individu bebas dan rasional untuk hidup dalam masyarakat demokratis. Kakek itu sedang melukis sejarah pendidikan yang menunjukkan bagaimana post-modernisme memiliki pengaruh terhadap institusi pendidikan tinggi, mengubah dinamika kekuasaan antara pengajar dan mahasiswa. Post-modernisme berdampak pada cara kita mendidik anak-anak, menciptakan kesenjangan antara idealisme pendidikan awal dan sistem sekolah yang kaku. Daripada kita bicara tentang dampak negatifnya, penting untuk memahami bahwa perubahan ini merupakan bagian dari evolusi pemikiran pendidikan yang merespons kebutuhan zaman.
Post Modernisme berkontribusi pada munculnya irasionalitas dan ketidaksopanan dalam debat publik karena kurangnya penekanan pada keterampilan kognitif dan diskusi sipil. Dalam diskusi tentang pendidikan, Bill yang seseorang yang merupakan seorang pendidik progresif, mengatakan "Pendidikan perlu terus berevolusi melampaui konsep-konsep modernisme yang kaku." Mereka memancing ikan Pari pemikiran baru dalam kolam pendidikan yang terus berubah. Ibu sedang tidur siang sambil memikirkan perubahan paradigma dalam pendidikan tinggi di era post-modern yang mengedepankan pluralitas metode dan pendekatan.
Post Modernisme berdampak pada cara kita mengajarkan disiplin ilmu yang secara langsung berkaitan dengan politik, seperti pemerintahan dan sistem politik komparatif. Hati kita sedih melihat daripada penderitaan korban bencana ideologis yang terjadi akibat ketidakmampuan melakukan diskusi rasional. Di tempat yang dahulu dikenal sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan ini, sekarang kita melihat pergeseran fokus dari pencarian kebenaran objektif menjadi pengakuan terhadap kebenaran-kebenaran subjektif. Pakaian itu disimpannya di dalam lemari ideologi yang memengaruhi cara pandang kita terhadap pendidikan dan pengetahuan.
Pergeseran Politik Identitas dalam Kerangka Post Modernisme
Pergeseran dari Kritik Ekonomi ke Kritik Identitas
Postmodernisme mencatat pergeseran penting dalam politik kiri dari fokus pada ketidaksetaraan ekonomi ke fokus pada kelompok identitas yang terjadi pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pergeseran ini mencerminkan perubahan strategi kaum kiri dari kritik ekonomi terhadap kapitalisme ke kritik berdasarkan ketidaksetaraan kelompok identitas. Kelompok Studi Post-modern, Jakarta menyatakan bahwa "Pemisahan antara kritik ekonomi dan identitas telah melahirkan paradigma politik baru dalam masyarakat kontemporer." Kalau engkau bersungguh-sungguh belajar tentang sejarah pergerakan kiri, engkau akan melihat bagaimana pergeseran dari analisis kelas ke analisis identitas telah mengubah lanskap politik.
Lahirnya radikalisme etnis dan agama merupakan salah satu ciri sosiologis postmodernisme11. Fenomena ini tidak terlepas dari penolakan post-modernisme terhadap narasi besar (grand narratives) dan penekanannya pada narasi-narasi kecil yang sebelumnya terpinggirkan. Santi adalah seorang kolektor pemikiran post-modern yang melihat bahwa "Politik identitas bukan semata-mata tentang representasi, tapi juga tentang rekognisi dan redistribusi." Dalam diskursus post-modern, perjuangan identitas sering diposisikan sebagai alternatif terhadap perjuangan kelas yang dianggap tidak mampu menjelaskan kompleksitas ketidakadilan sosial.
Identitas Kelompok vs Individu
Postmodernisme memandang bahwa identitas kelompok lebih penting daripada identitas individu dalam dinamika sosial dan politik. Pandangan ini menggeser fokus dari individu sebagai unit dasar masyarakat menjadi kelompok identitas dengan karakteristik kolektif tertentu. Post Modernisme menghasilkan perpecahan generasi dalam memandang konsep utopia, dengan sebagian menolak utopia dan sebagian lain menganut versi utopia mereka sendiri. Perpecahan ini mencerminkan bagaimana post-modernisme mengakui pluralitas visi tentang masyarakat ideal, sekaligus mengkritik klaim universalitas dari proyek-proyek utopis modernisme.
Post Modernisme memunculkan pendekatan otoriter dalam interaksi sosial, dimana ketimbang berdialog, lebih memilih untuk menghentikan suara-suara yang bertentangan. Post Modernisme mendorong metode otoriter dalam konteks sosial ketika satu posisi menjadi dominan dan tidak ada lagi pluralitas pandangan. Post Modernisme menentang gagasan toleransi dan keberagaman pemikiran sebagai nilai-nilai yang penting dalam masyarakat modern. Postmodernisme memandang bahwa individu dengan kekuasaan dapat menggunakan kata-kata sebagai bentuk kekerasan terhadap orang lain yang kurang berkuasa. Perspektif ini membawa kita pada pemahaman bahwa relasi kekuasaan selalu hadir dalam interaksi sosial, termasuk dalam dialog dan debat publik.
Post Modernisme dan Pendekatan Baru terhadap Sejarah
Post Modernisme menyoroti pentingnya pembacaan kritis terhadap sumber-sumber sejarah, dengan mempertimbangkan derajat deformasi aktualnya oleh budaya hegemonik yang memproduksinya, fundamental untuk karya historiografi yang baik12. Pendekatan kritis ini mengakui bahwa sejarah tidak pernah benar-benar objektif, melainkan selalu dipengaruhi oleh relasi kuasa yang ada pada masa penulisannya. Post Modernisme pada pandangan pertama tampaknya telah memberikan sejarah status yang mendekati ketidakberartian, karena fungsi mendasarnya adalah mempertanyakan setiap ide dan institusi yang mapan13. Ironisnya, justru dengan mempertanyakan status sejarah, post-modernisme membuka kemungkinan untuk pendekatan historiografi yang lebih reflektif dan sadar diri.
Ihab Assan, seorang teoretikus Post Modernisme, secara radikal menyatakan bahwa "avant-garde baru tidak perlu memiliki kesadaran historis", menunjukkan pergeseran dramatis dalam pandangan terhadap nilai sejarah14. Pernyataan ini menantang asumsi dasar modernisme yang melihat sejarah sebagai perkembangan linear menuju kemajuan. Post Modernisme menyoroti bagaimana sejarah dan fiksi berbagi sifat diskursif yang sama, menghapus batas-batas konvensional antara keduanya dan mengungkap sifat manusia yang terus berubah dari sejarah15. Pengakuan bahwa sejarah selalu melibatkan narasi dan interpretasi — mirip dengan karya fiksi — mendorong sikap lebih hati-hati terhadap klaim kebenaran historis yang absolut.
Teknik "emplotment" (pengaluran) menjadi sangat penting dalam proses metasejarah Post Modernisme: sejarawan dapat merepresentasikan fakta dengan memberikannya karakteristik tragedi atau komedi, tergantung pada latar belakang budayanya, sehingga menyoroti subjektivitas dasar representasi sejarah16. Konsep ritual dalam antropologi telah berhasil ditransfer ke sejarah, dengan ritual dapat dikonseptualisasikan sebagai "teks untuk dibaca"17. Gabrielle Spiegel menulis bahwa sejarawan sosial yang menggunakan model etnografi tertarik pada tempat ritual dalam kehidupan sosial18. Pendekatan interdisipliner ini memperkaya studi sejarah dengan perspektif dan metodologi dari disiplin ilmu lain seperti antropologi, linguistik, dan kritik sastra.
Teknologi dan Kemajuan dalam Pandangan Post Modernisme
Post Modernisme telah menciptakan pendekatan yang cenderung skeptis terhadap kemajuan teknologi dan ekonomi, meskipun data menunjukkan peningkatan peluang. Post-modernisme mengkritik teknologi dan sains yang dianggap telah menjadi ideologi baru dalam masyarakat modern yang justru menindas dan mendominasi19. Kritik ini melihat bahwa kemajuan teknologi tidak selalu membawa manfaat yang merata, tapi sering justru memperkuat struktur kekuasaan yang sudah ada. Para pendukung Post Modernisme sering mengabaikan fakta bahwa teknologi baru telah menurunkan hambatan masuk ke berbagai profesi kreatif. Teknologi digital misalnya, telah memungkinkan lebih banyak orang untuk berpartisipasi dalam produksi budaya tanpa harus bergantung pada institusi tradisional.
Post Modernisme telah membentuk asumsi-asumsi fundamental tentang peluang, kebebasan, dan teknologi yang sangat berpengaruh dalam masyarakat kontemporer. Post Modernisme cenderung menciptakan pandangan yang terlalu sinis dan bermusuhan yang tidak sesuai dengan sifat manusia yang cenderung mencari kebahagiaan dan kebermaknaan. Elizabeth Ermarth menjelaskan bagaimana teori Einstein tentang mutasi materi menjadi energi ketika menerapkan gaya padanya, mirip dengan bagaimana sebuah cerita secara teoretis bermutasi menjadi sejarah melalui kekuatan budaya dalam pemikiran Post Modernisme20. Analogi ini menunjukkan bagaimana post-modernisme melihat transformasi pengetahuan dan kebenaran sebagai proses yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Kesimpulan
Post Modernisme merupakan pandangan filosofis yang berdampak pada cara generasi muda memandang dunia dan kesempatan masa depan mereka. Sebagai gerakan intelektual yang berkembang sebagai respons terhadap modernisme, post-modernisme telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, hingga cara kita memahami sejarah dan kebenaran. Melalui tokoh-tokoh seperti Michel Foucault, Jean Baudrillard, dan Jacques Derrida, post-modernisme telah menantang asumsi-asumsi fundamental tentang kebenaran objektif, rasionalitas, dan kemajuan.
Pergeseran dari fokus pada ketidaksetaraan ekonomi ke politik identitas, penolakan dikotomi subjek-objek yang kaku, serta pendekatan kritis terhadap sejarah dan teknologi merupakan beberapa kontribusi penting post-modernisme dalam diskursus intelektual kontemporer. Meskipun sering mendapat kritik karena dianggap terlalu relativistik dan menafikan kemungkinan dialog rasional, post-modernisme tetap menjadi kerangka pemikiran yang kaya untuk memahami kompleksitas dunia kontemporer. Terlepas dari perdebatan tentang manfaat dan kerugiannya, tidak dapat dipungkiri bahwa post-modernisme telah menjadi bagian integral dari lanskap intelektual dan kultural kita saat ini.
Daftar Pustaka
- O'Donnell, K. (2013). Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kasnisius.
- Lubis, A. Y. (2016). Postmodernisme: Teori dan Praktik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Dahana, R. P. (2004). Jejak Postmoderinsme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
- Setiawan, J. & Sudrajat, A. (2018). "Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan". Jurnal Filsafat, 28(1), 25-46.
- Foucault, M. (1980). Power/Knowledge; Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. Brighton.
- Hidayat, M. A. (2019). "Menimbang Teri-Teori Sosial Postmodernisme: Sejarah, Pemikiran dan Masa Depan Postmodernisme". Journal of Urban Sociology, 2(1), 45-60.
- Hidayat, M. A. (2019). "Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodernisme: Sejarah, Pemikiran dan Masa Depan Postmodernisme". Jurnal of Urban Sociology, 2(1), 50.
- Hutcheon, L. (2004). A Poetics of Postmodernism. New York, London.