12
May 2025

Revolusi AI dalam Sistem Peradilan: Harapan vs Kenyataan Dunia Hukum

  • open
  • 0
  • 12 May 2025
  • 12 May 2025
AI dalam Sistem Peradilan Pidana

Dalam era di mana Kecerdasan Buatan (AI) semakin menjadi "minyak baru" dalam era digital1, sistem peradilan pidana menghadapi transformasi signifikan. Perkembangan teknologi ini memunculkan harapan sekaligus kekhawatiran di kalangan praktisi, akademisi, dan masyarakat umum. Fakta bahwa berita internasional tentang generative AI meningkat dari sekitar 2000 artikel di akhir 2022 menjadi hampir 14.000 pada Juni 20232 menunjukkan betapa topik ini menarik perhatian global. Artikel ini mengkaji perkembangan dari sudut akademis, berdasarkan data dan studi terkini. AI dianggap sebagai istilah payung yang mencakup berbagai alat berbasis mesin yang dirancang untuk meniru hal-hal yang secara klasik memerlukan kecerdasan manusia, sebagaimana didefinisikan oleh Council on Criminal Justice (CCJ)3. Perlu diketahui bahwa istilah kecerdasan buatan sendiri pertama kali digunakan oleh John McCarthy pada konferensi di Universitas Dartmouth pada tahun 19564.

Potensi Transformatif AI dalam Peradilan Pidana

Sistem AI memiliki potensi luar biasa dalam memanfaatkan sumber daya yang langka dengan lebih efektif dalam investigasi, penuntutan, dan pembelaan, terutama mengingat volume kasus yang begitu besar5. Teknologi ini melangkah jauh melampaui pencapaian awal seperti Deep Blue - komputer catur dengan 32 prosesor paralel yang mampu mencari 200 juta posisi catur per detik6. Para pendukung teknologi ini berpendapat, implementasi proses AI yang terstandarisasi bisa menciptakan jejak audit dan dokumentasi yang jelas di seluruh sistem peradilan, sehingga memudahkan peninjauan dan validasi tindakan yang diambil. Namun keberhasilan implementasi kecerdasan buatan membutuhkan masukkan dari semua pihak terkait, mulai dari pengembang teknologi sampai anggota masyarakat, praktisi, dan pemimpin lembaga.

National Institute of Justice (NIJ) telah mendukung berbagai penelitian penting menggunakan AI, termasuk proyek di Colorado State University yang memanfaatkan pemrosesan bahasa alami dan teori grafik untuk mendeteksi jalur menuju radikalisasi domestik dan ekstremisme kekerasan. Selain itu, terdapat juga kolaborasi antara George Washington University dengan Kepolisian St. Louis County dan Pusat Nasional untuk Anak Hilang dan Dieksploitasi untuk mengembangkan algoritma pembelajaran mendalam yang mencocokkan gambar kamar hotel dengan lokasi geografisnya - sebuah terobosan signifikan dalam melacak kasus perdagangan manusia. AI juga berpotensi meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dengan menyediakan analisis yang lebih konsisten dan berprinsip, mengatasi kekhawatiran tentang penegakan hukum yang sewenang-wenang atau bias.

Tantangan dan Risiko Implementasi AI

Meskipun menjanjikan, implementasi AI dalam sistem peradilan menghadirkan beberapa tantangan serius. Yaser Ibrahim, SVP R&D di Axon, mengungkapkan ketidakpastian tentang kemana harus pergi buat mendapatkan panduan tentang praktik AI yang benar di AS, berbeda dengan Eropa di mana kerangka kerja regulasi lebih jelas3. Ketika ditanya bagaimana menilai sistem AI yang kompleks, Ibrahim menyatakan bahwa tidak mungkin mengevaluasi dengan satu metrik tunggal seperti akurasi, karena banyak kondisi pengujian harus dipertimbangkan. Di samping itu, Rebecca Wexler dari Berkeley mengungkapkan kekhawatiran tentang bagaimana mendapatkan tinjauan sejawat untuk teknologi AI yang digunakan dalam sistem hukum, terutama ketika vendor menggunakan hukum kontrak untuk mencegah peneliti mengakses perangkat lunak mereka3.

Dr. Brandon Buskey mengidentifikasi masalah mendasar AI adalah sifatnya yang agnostik tentang tugas yang diminta untuk dilakukan, dimana manusialah yang seharusnya bertanggung jawab menentukan penggunaan etis teknologi ini3. Beliau menekankan bahwa kekhawatiran utama adalah saat mesin membuat keputusan atau menafsirkan sesuatu dengan cara yang diminta untuk diterima begitu saja tanpa melihat prosesnya secara transparan. Tantangan lainnya adalah risiko otomatisasi bias. Sistem AI yang dilatih pada data historis berisiko memperkuat dan memperbesar masalah yang ada, terutama yang memengaruhi komunitas terpinggirkan melalui otomatisasi proses yang mereproduksi pola diskriminasi sejarah. Para peneliti di Oxford telah mengidentifikasi bahwa banyak solusi pembelajaran mesin yang "adil" mencapai kesetaraan dengan menurunkan akurasi untuk semua, bukan meningkatkannya untuk kelompok yang kurang terlayani3.

Transparansi dan Akuntabilitas dalam AI Hukum

Tantangan penting lainnya berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas. Brandon Buskey mengangkat ketidakpastian tentang bagaimana menetapkan kesalahan yang dibuat oleh AI dan cara memulihkannya, tidak seperti kesalahan yang dibuat manusia di mana kita memiliki intuisi tentang cara menetapkan kesalahan3. Ibrahim mengusulkan pendekatan yang terinspirasi dari FAA dan FDA untuk menangani tanggung jawab dalam sistem AI kompleks, mengakui terdapat banyak aktor terlibat termasuk pembuat model dasar, perusahaan yang menghosting model, pengembang produk, dan pengguna akhir. Persoalan keterbukaan ini semakin krusial ketika dihadapkan pada risiko "atrofi mental" dimana ketergantungan pada AI bisa menyebabkan pengguna kurang mengembangkan atau mempertahankan keterampilan penting mereka sendiri.

Tidak kalah pentingnya, sistem otomatis AI berisiko mengikis hak-hak fundamental dengan membuat keputusan tanpa transparansi yang cukup, sehingga membatasi kemampuan terdakwa untuk menantang bukti atau metodologi3. Isu ini berkaitan erat dengan implikasi etis, keamanan, dan sosial dari AI termasuk masalah seperti privasi data, bias, dan tanggung jawab moral yang harus dipertimbangkan secara menyeluruh4. Prof. Wexler mempertanyakan bagaimana menetapkan ambang kinerja yang tepat untuk teknologi AI dalam konteks hukum yang berbeda, terutama saat beberapa undang-undang wajah mengusulkan batas akurasi setinggi 98%3. Hal ini menjadi contoh bagaimana keputusan teknologi perlu diletakkan dalam konteks nilai-nilai masyarakat, bukan sekadar pertimbangan teknis semata.

Data sebagai Kunci Keberhasilan Implementasi AI

Data adalah elemen fundamental dalam pengembangan dan implementasi AI yang efektif. Sebagaimana dikatakan para ahli, data dianggap sebagai "minyak baru" dalam era digital, menjadi bahan bakar dibalik komputasi modern dan algoritma AI yang memungkinkan sistem belajar, menemukan hubungan dalam data, dan membuat prediksi1. Dr. Nancy LaVigne mengidentifikasi risiko utama sebagai fokus berlebihan pada akurasi algoritma daripada kualitas data input, yang dapat membawa bias yang tak terkait dengan algoritma itu sendiri3. Beliau menunjukkan bahwa bila alat penilaian risiko AI dapat menunjukkan lebih banyak akurasi dan lebih sedikit bias daripada pengambil keputusan manusia, ambang batas implementasi mungkin masuk akal.

Ketika aspek terbaik dari data warehouse dan data lake digabungkan menjadi satu solusi manajemen data, hal ini disebut data lakehouse7 - pendekatan yang semakin populer dalam pengelolaan data untuk sistem AI. Dalam konteks penerapan di peradilan pidana, kualitas data menjadi sangat krusial karena keputusan yang diambil berpotensi mempengaruhi kebebasan dan hak asasi manusia. Risiko lain yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan aktor jahat mengeksploitasi sistem AI melalui peracunan data atau serangan adversarial yang dapat membahayakan investigasi atau menciptakan bukti palsu yang tampak valid secara teknis3. Data ITU menunjukkan bahwa kaum muda global adalah pendorong utama konektivitas, dengan 75% dari semua usia 15-24 tahun sekarang online8, yang berarti populasi ini menjadi semakin terhubung dan berpotensi terpengaruh oleh sistem peradilan berbasis AI.

Peningkatan Kompetensi dan Pendidikan di Era AI

Keberhasilan implementasi AI dalam sistem peradilan pidana sangat tergantung pada peningkatan kompetensi para pelaku di dalamnya. Survei global 2023 terhadap eksekutif perusahaan oleh IBM Institute of Business Values menemukan bahwa sebagian besar pemimpin bisnis memperkirakan implementasi AI dan otomatisasi dalam perusahaan mereka akan membutuhkan setidaknya 40% dari tenaga kerja untuk mendapatkan keterampilan ulang selama tiga tahun ke depan9. Mengutip pernyataan Skillsoft, "investasi dalam reskilling dan upskilling sangat penting untuk memastikan semua orang dapat memperoleh manfaat dari AI"7.

CCJ menekankan perlunya keterlibatan kritis dan pemahaman tentang alat AI, dimana pengguna dan pengamat memerlukan pemahaman canggih tentang kemampuan dan keterbatasan teknologi ini3. Bahkan Yaser Ibrahim mendorong orang-orang untuk mencoba alat AI secara langsung agar bisa memberikan umpan balik yang lebih kritis dan berpengetahuan sehingga membantu teknologi berkembang ke arah yang benar. Dalam konteks peradilan pidana dengan potensi keputusan yang berdampak besar terhadap kehidupan manusia, pemahaman mendalam tentang cara kerja, kemampuan, dan batasan AI menjadi sangat penting bagi semua pihak yang terlibat, termasuk hakim, jaksa, pengacara pembela, dan aparatur penegak hukum lainnya.

Pengembangan Kebijakan dan Regulasi AI

Kerangka kebijakan dan regulasi yang tepat merupakan elemen kunci dalam memastikan implementasi AI yang bertanggung jawab dalam sistem peradilan pidana. Dr. LaVigne menyoroti tantangan dalam mengembangkan kebijakan untuk teknologi AI yang bergerak sangat cepat sehingga kebijakan tersebut mungkin sudah ketinggalan zaman saat diterapkan3. Beliau menekankan pentingnya pemerintah negara bagian dan lokal dalam akuisisi teknologi, dan menyarankan perlunya membangun perlindungan ke dalam kebijakan dan proses akuisisi untuk meminimalkan konsekuensi negatif AI.

CCJ mengidentifikasi tujuh bidang penyelidikan kunci untuk AI dalam peradilan pidana yaitu: efektivitas dan efisiensi, pelatihan pengguna, tolok ukur dan standar kinerja, kualitas data dan keandalan algoritma, privasi dan keadilan, transparansi dan akuntabilitas, serta tata kelola dan penegakan3. CCJ juga mengidentifikasi kebutuhan akan pagar pembatas yang jelas dan mekanisme pengawasan yang cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan cepat sekaligus mempertahankan standar yang membantu pengguna berbuat baik. Pendekatan regulasi terhadap AI harus menekankan perlunya adopsi berbasis nilai dari alat AI, mengedepankan nilai-nilai demokratis dalam setiap keputusan, bukan hanya tentang apa yang dapat dilakukan AI tetapi apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan.

Refleksi dan Perspektif Masa Depan

Dengan melihat jauh ke depan, kita perlu merenungkan esensi artificial intelligence dalam konteks apa yang kita pahami sebagai kecerdasan itu sendiri. Menurut Atmar (1976), masalah utama dalam kecerdasan buatan adalah sudut pandang kita, dimana kecerdasan umumnya dianggap sebagai kualitas yang unik pada manusia10. Banyak definisi kecerdasan bergantung pada properti yang diklaim unik manusia dan sering mencerminkan pandangan yang sangat antroposentris. Pendekatan yang lebih luas terhadap konsep kecerdasan dapat membantu kita lebih memahami potensi dan keterbatasan AI.

Pembelajaran dan Evolusi Sistem AI

Pengembangan AI modern melalui deep learning berakar pada penelitian Google tahun 2017 dalam paper berjudul "Attention Is All You Need" yang memperkenalkan arsitektur AI baru untuk pemahaman bahasa bernama 'Transformers'3. Konsep ini telah berkembang jauh dari model Perceptron yang dianalisis Block sebagai model fungsi otak, menunjukkan bagaimana unit-unit ambang sederhana yang diorganisir dalam lapisan dapat menunjukkan perilaku mirip dengan yang diamati dalam sistem neurobiologis10. Saat ini, kita tahu bahwa beberapa lapisan perceptron dengan kekuatan koneksi variabel, istilah bias, dan fungsi sigmoid nonlinier dapat mendekati fungsi pemetaan terukur yang sewenang-wenang.

Pendekatan evolusioner terhadap kecerdasan buatan menawarkan wawasan yang menarik. Menurut Carne (1965), atribut dasar organisme cerdas adalah kemampuannya untuk belajar melakukan berbagai fungsi dalam lingkungan yang berubah-ubah untuk bertahan hidup dan berkembang10. Jika proses evolusi diterima sebagai analog secara mendasar dengan metode ilmiah, maka harus juga diyakini proses ini dapat dimekanisasi dan diprogram pada mesin komputasi. Pemahaman ini membuka jalan bagi sistem AI yang bisa terus beradaptasi dan berkembang dalam menghadapi tantangan sistem peradilan yang kompleks dan dinamis.

Kesimpulan

Implementasi AI dalam sistem peradilan pidana menawarkan peluang besar sekaligus tantangan yang tidak kalah besar. Potensi untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi bias, dan memperkuat keadilan harus diimbangi dengan kekhawatiran tentang transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak-hak fundamental. Dalam konteks hukum pidana yang menyangkut kebebasan dan hak asasi manusia, implementasi AI harus dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab.

Untuk mencapai keseimbangan antara inovasi dan perlindungan, diperlukan kolaborasi multidisiplin antara pakar hukum, teknologi, etika, dan kebijakan publik. Pendekatan berbasis nilai yang menekankan transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak fundamental harus menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi AI dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, teknologi ini bisa menjadi alat yang memperkuat, bukan melemahkan, keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

Referensi

  • World Travel & Tourism Council. (2024). Introduction to Artificial Intelligence (AI) Technology Guide for Travel & Tourism Leaders, hal. 15.
  • G7 Towards a Common Understanding of Generative AI. (n.d.). Diakses dari https://www.oecd-ilibrary.org/...
  • Council on Criminal Justice. (2025, January 11). Event Recording: AI in Criminal Justice – Navigating Opportunities and Risks. [Video]. Youtube. https://youtu.be/FcXc4f_qEKw
  • Zhang, C., & Lu, Y. (2021). Study on artificial intelligence: The state of the art and future prospects. Journal of Industrial Information Integration, 23, 100224.
  • Göde, A., & Kalkan, A. (2023). What is Artificial Intelligence? In Chapter 2 (p. 34).
  • Clark, D. (1997). "Deep Thoughts on Deep Blue," IEEE Expert, Vol. 12:4, p. 31.
  • World Travel & Tourism Council. (2024). Introduction to Artificial Intelligence (AI) Technology Guide for Travel & Tourism Leaders, hal. 18-46.
  • ITU Measuring Digital Development 2022. (n.d.). Diakses dari https://www.itu.int/en/ITU-D/S...
  • IBM Institute of Business Values AI Survey. (n.d.). Diakses dari https://www.ibm.com/thought-le...
  • Atmar, J. W. (1976). "Speculation on the Evolution of Intelligence and Its Possible Realization in Machine Form." Sc.D. diss., New Mexico State University, Las Cruces.

Download PDF tentang AI dalam Sistem Peradilan…
VIDEO
Penulis
Swante Adi Krisna
Swante Adi Krisna
Web Programmer, Blogger, Graphic Designer, Woodworking, Sarjana dan Magister Hukum, Magister Kenotariatan, Kemhan.