17 Oktober 2025 — Filsafat analitik (analytic philosophy) mencapai dominasi luar biasa di universitas-universitas. Tapi ada masalah besar. Tim Crane, profesor filsafat dan pro-rektor di Central European University, mengungkap paradoks mengejutkan: "Semakin filsafat analitik menjadi dominan di universitas, semakin jauh ia dari kepedulian orang rata-rata yang memiliki minat filosofis."1 Kesuksesan institusional justru menciptakan jurang pemisah dengan publik.
Kesuksesan Institusional yang Memisahkan
Crane menulis esai di The Ideas Letter tentang buku Christoph Schuringa, A Social History of Analytic Philosophy. Dia bilang filsafat analitik "memiliki dampak kecil pada budaya umum dan bagian lain dari akademi."2 Ironis sekali. Tradisi yang seharusnya mencerahkan malah terisolasi.
Konsepsi Crane bersifat historis dan eksternalis—dia menyebutnya pendekatan "deflasioner" (deflationary). Cerita kesuksesan institusionalnya "harus sebagian besar historis, bukan filosofis," tulis Crane.3 Tapi tidak sepenuhnya deflasioner. Kekuatan historis dan kontinjen itu berkontribusi pada "cara filsafat analitik mengembangkan cara berpikir distinktifnya sendiri."4
Akar Masalah: Kurangnya Refleksi Diri
Kenapa filsafat analitik begitu tidak dipahami? Crane punya jawaban menarik. Filsuf analitik butuh mengakui mereka selalu jadi bagian—dan dipengaruhi oleh—budaya yang lebih luas, termasuk konsepsi filosofi yang lebih luas juga.
"Jika filsuf ingin serius menangani permusuhan dan ketidakpahaman yang mereka hadapi, mereka perlu memulai dengan penjelasan yang masuk akal tentang disiplin intelektual mereka sendiri," kata Crane.5 Filsafat memang subjek teknis dengan standar tinggi. Betul itu. Tapi mereka juga perlu cerita tentang bagaimana filsafat dalam pengertian ini berhubungan dengan banyak hal lain yang dunia anggap sebagai filsafat.6
Buku Schuringa sebagai Jalan Keluar
Buku Schuringa, menurut Crane, adalah "upaya serius untuk memahami mengapa filsafat analitik menghadapi masalah dan pertanyaan tertentu dan mengabaikan yang lain—dari mana pertanyaan-pertanyaan ini berasal dan keadaan intelektual kontinjen mana yang menyebabkan pertanyaan-pertanyaan itu menjadi dominan."7 Studi historis seperti ini penting banget.
Solusi: Historisasi dan Komunikasi Lebih Baik
Crane berpikir filsuf analitik perlu lebih banyak melakukan pekerjaan semacam ini. Kenapa? Karena akan membantu mereka memahami tradisi mereka sendiri dengan lebih baik. Ini krusial untuk membuat orang lain melihat nilai dalam tipe filsafat mereka.
"Jika filsuf analitik merenungkan dengan cara yang lebih tidak berpihak, kurang defensif tentang tradisi mereka, itu bisa membantu mereka memahami mengapa filsuf dari tradisi lain menganggapnya begitu tidak jelas, dan mengapa orang di luar filsafat bisa menganggapnya begitu tidak berguna," tulis Crane.8
Untuk menyampaikan kepada orang luar mengapa pertanyaan-pertanyaan yang diangkat filsuf analitik penting, bukan tugas mudah. Filsuf analitik perlu mengembangkan "baik kepekaan historis maupun cara yang lebih baik untuk berbicara dengan mereka yang mereka anggap sebagai 'non-profesional'."9 Mereka belum melakukan pekerjaan baik menjelaskan kepada kritikus mereka tentang pentingnya atau ketertarikan pada masalah khusus yang menyita perhatian mereka.10
Langkah Pertama: Jelaskan pada Diri Sendiri
"Akan menjadi langkah pertama dalam memperbaiki situasi ini jika mereka bisa menjelaskan hal-hal ini pada diri mereka sendiri terlebih dahulu," kata Crane.11 Sederhana tapi mendalam.
Pertanyaan Kritis: Apakah Historisasi Benar-benar Solusinya?
Ini konjektur menarik. Tapi benar gak? Apakah historisasi filsafat analitik benar-benar akan membuat kritikus dan orang yang tidak tertarik melihat "pentingnya atau ketertarikannya"? Ada contoh hal itu terjadi?
Orang mungkin berpikir historisasi semacam itu cenderung memiliki efek sebaliknya. Bisa merusak nilai yang dipersepsikan dari penyelidikan filsafat analitik dengan menekankan pengaruh arasional pada pilihan metode dan subjeknya.12 Memang, bahwa sejarah eksternalis filsafat analitik bisa secara intelektual merendahkan disiplin ini adalah salah satu alasan untuk mendorong lebih banyak lagi.13
Pelajaran dari Sejarah Filsafat
Mungkin sejarah filsafat bisa memberikan perspektif berguna di sini. Kita cenderung tidak menganggap lebih rendah tokoh-tokoh besar sejarah filsafat sekarang ketika sarjana telah menunjukkan kepada kita semua kontingensi sosial, politik, institusional, dan personal yang berperan dalam mereka berpikir dan menulis apa yang mereka lakukan.14
Filsuf analitik mungkin tetap menolak. Kita cenderung memahami pekerjaan kita dalam hal justifikasi, bukan kausalitas. Tapi mungkin ini juga prasangka, tertanam dalam diri kita oleh berbagai kontingensi.15
Kesimpulan: Fallacy Tetap Fallacy
Bagaimanapun, genetic fallacy (kekeliruan genetik) adalah kekeliruan tidak peduli apa yang membuat kita mempercayainya.16 Filsafat analitik perlu menemukan keseimbangan antara ketelitian teknis dan relevansi budaya. Tantangannya: bagaimana mempertahankan standar tinggi sambil tetap terhubung dengan keprihatinan manusia yang lebih luas.
Historisasi mungkin bukan obat mujarab. Tapi setidaknya langkah awal untuk dialog yang lebih jujur antara filsuf analitik dan dunia yang mereka tinggali.


