Profesor filosofi Wellesley College membuktikan bahwa tawa bukan musuh pemikiran serius
Revolusi Pemikiran: Ketika Tawa Bertemu Filosofi
Dunia akademik filosofi yang selama ini dikenal kaku dan serius mendapat fresh perspective dari Helena de Bres, profesor di Wellesley College. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa humor justru menjadi jembatan efektif untuk memahami kompleksitas pemikiran filosofis1. Kalau kita lihat secara mendalam, pendekatan ini sebenarnya bukan hal baru - filsuf besar seperti Socrates dan Diogenes sudah lama menggunakan metode serupa.
Helena de Bres, yg juga penulis produktif di berbagai publikasi dari Journal of Moral Philosophy hingga McSweeney's, mengungkapkan bahwa "Saya masuk ke filosofi setidaknya sebagian karena itu komik dan itu masih menjadi sebagian besar dari apa yang saya nikmati tentangnya"2. Pernyataan ini menggelitik sekaligus menantang paradigma tradisional dlm dunia akademik.
Sejarah Panjang Pertentangan Humor dan Filsafat
Sejak zaman kuno, para filosof memiliki pandangan beragam tentang humor. Epictetus pernah menasihati untuk "Jangan terlalu banyak tertawa, atau pada banyak hal, atau tanpa kendali"3. Bahkan tokoh-tokoh seperti Pythagoras, Plato, Aristoteles, dan Hobbes menganggap humor sebagai kombinasi dari kebodohan, kejahatan, bahaya, dan pengaburan kebenaran.
Transformasi Personal: Dari Mahasiswa hingga Profesor
Perjalanan Helena de Bres dimulai ketika dia memberitahu orang tuanya tentang rencana mengambil kelas filosofi. Ayahnya, yang digambarkan sebagai sosok humoris, malah bergidik mendengarnya. "Ada beberapa alasan untuk ini, tapi yang terdepan adalah rasa tidak suka ayah saya yang jenaka terhadap gravitasi berlebihan," ungkapnya4.
Selama masa sekolah pascasarjana, Helena merasa tidak cukup serius untuk upaya yang sedang dia jalani. Dia tidak bisa melewati kelas atau ceramah tanpa membuat lelucon, baik dengan suara keras maupun internal. Bahkan dia sampai mengorganisir kompetisi trivia departemen yang penuh lelucon dan menciptakan panduan untuk mahasiswanya yang dibintangi asisten pengajar invertebrata bernama "Philosa Flea".
Dampak Negatif Stereotip Akademik
Tekanan untuk menjadi "serius" dalam dunia akademik sering kali menciptakan alienasi bagi individu seperti Helena. Dia merasa terasing, namun ironisnya, keterasingan itu sendiri menjadi sumber hiburan baginya5. "Saya pernah makan siang dengan sesama mahasiswa pascasarjana yang dengan meremehkan menyebut orang lain di profesi ini sebagai 'tidak serius' dan saya langsung ingin bertemu mereka," kenangnya.
Teori Ketidaksesuaian: Fondasi Ilmiah Humor dalam Filosofi
Helena menggunakan incongruity theory (teori ketidaksesuaian) untuk menjelaskan mengapa filosofi sangat cocok dengan humor6. Menurut teori ini, kelucuan muncul dari ketidaksesuaian - seperti perpindahan dari satu makna ke makna lain, atau dari yang tinggi ke yang rendah. Filosofi secara terus-menerus berurusan dengan hal-hal tinggi (atau setara, yang dalam), tetapi kita para filsuf terlalu manusiawi untuk tinggal di sana secara permanen.
Dalam tindakan slapstik pendiri disiplin kita, Thales jatuh ke sumur karena dia terlalu sibuk menatap langit. Tapi kita yg lain melakukannya dengan cara yang kurang mencolok setiap hari kerja dengan, misalnya, memberikan kuliah tentang metafisika Kant dengan garis-garis debu kapur di pantat kita7.
Persamaan Struktural Komedi dan Filosofi
Baik komedi maupun filosofi membidik pertanyaan-pertanyaan besar manusia dari sudut pandang yang agak terpisah. Keduanya beroperasi melalui abstraksi, defamiliarisasi, dan penalaran hipotetis. Mereka memberikan perhatian obsesif pada logik dan bahasa, tidak menganggap apa pun sebagai sakral, membidik kebenaran, dan memiliki kecenderungan radikal8.
Tiga Affinitas Mendalam antara Humor dan Filosofi
Helena mengidentifikasi tiga hubungan mendalam. Pertama, humor bisa menjadi cara berfilosofi secara serius, termasuk tentang filosofi itu sendiri. Mengolok-olok filosofi, seperti yang dilakukan komedian secara langsung atau tidak langsung, dan seperti yang dilakukan beberapa dari kita dari dalam kuil, menyoroti sifat filosofis yang secara inheren tidak sesuai9.
Kedua, ketika digeneralisasi menjadi orientasi keseluruhan terhadap realitas, humor itu sendiri bisa menjadi sebuah filosofi. Ketiga, ketika dikembangkan dengan cara itu, humor dapat menjalankan salah satu peran tradisional filosofi sebagai bentuk penghiburan eksistensial. Melihat kondisi mengerikan kita dari perspektif komik mengurangi ketajamannya dan bisa menjadi jalan menuju empati, kasih sayang diri, dan kedamaian10.
Kesimpulan
Penelitian Helena de Bres membuktikan bahwa humor bukan ancaman bagi keseriusan akademik, melainkan alat yang powerful untuk memahami dan mengajarkan filosofi. Pendekatan ini membuka jalan bagi generasi baru filsuf untuk mengekspresikan pemikiran mendalam tanpa harus kehilangan kemanusiaan mereka. Seperti yang dia katakan, dalam mempertimbangkan kematian terbaik, idealnya kita ingin keduanya - yang serius dan yang farsical.
Referensi
- Daily Nous. (2025, Juli 22). On Being Seriously Funny (guest post). https://dailynous.com/2025/07/22/on-being-seriously-funny-guest-post/
- de Bres, H. (2025). Personal reflection on philosophy and humor. Daily Nous.
- Epictetus. Diskursus tentang humor dan moderasi dalam kehidupan filosofis.
- de Bres, H. (2025). Childhood memories and philosophical beginnings. Daily Nous.
- de Bres, H. (2025). Graduate school experiences and academic alienation. Daily Nous.
- Incongruity Theory of Humor. Teori tentang mekanisme humor dalam konteks filosofis.
- de Bres, H. (2025). Thales and modern philosophical pratfalls. Daily Nous.
- Bergson, H. Teori tentang komedi dan detasemen emosional.
- Krishnan, N. Recent history of Oxford philosophy and jokiness versus seriousness.
- de Bres, H. (2025). Three deep affinities between humor and philosophy. Daily Nous.