{!-- ra:00000000000003ea0000000000000000 --}AI sebagai Pekerja 🤖 atau Alat? Debat Jensen Huang dan Claude - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
AI sebagai Pekerja 🤖 atau Alat? Debat Jensen Huang dan Claude
6
November 2025

AI sebagai Pekerja 🤖 atau Alat? Debat Jensen Huang dan Claude

  • 2
  • 06 November 2025
AI sebagai Pekerja 🤖 atau Alat? Debat Jensen Huang dan Claude

CEO Nvidia Jensen Huang baru-baru ini mengklaim bahwa artificial intelligence (AI atau Kecerdasan Buatan) bukanlah sekadar alat (tool), melainkan pekerja (worker) yang mampu menggunakan alat. Pernyataan ini memicu perdebatan sengit di kalangan teknolog, terutama dari Tim O'Reilly yang justru membantah klaim tersebut1. Huang menegaskan bahwa pasar AI jauh lebih besar dari pasar perangkat lunak tradisional karena perbedaan fundamental ini.

Argumen Jensen Huang: AI adalah Pekerja Digital

Dalam konferensi GPU Technology Conference (GTC) di Washington DC, Huang menjelaskan perbedaan mendasar antara perangkat lunak masa lalu dengan AI2. Menurutnya, Excel, Word, dan web browser (Peramban Web) adalah alat karena manusia yang menggunakannya. Pasar alat IT tradisional hanya bernilai sekitar satu triliun dolar. Namun AI berbeda. AI adalah pekerja yang dapat menggunakan alat tersebut.

Huang memberikan contoh konkret. Perplexity menggunakan web browser untuk memesan liburan atau berbelanja—AI menggunakan alat1. Cursor, sistem AI agentic (agen AI) yang digunakan semua insinyur perangkat lunak Nvidia, meningkatkan produktivitas secara dramatis dengan menggunakan VS Code sebagai alatnya. Di dalam robotaxi, ada sopir AI yang bekerja, dan alat yang digunakannya adalah mobil itu sendiri.

Nvidia Menolak Ketakutan Gelembung AI

Menyikapi kekhawatiran tentang gelembung AI (AI bubble), Huang tegas menolaknya3. Pada November 2025, dia menyatakan investasi besar-besaran saat ini didasarkan pada pergeseran historis dalam cara kerja komputasi itu sendiri. Nvidia bahkan mengkonfirmasi prakiraan penjualan 500 miliar dolar hingga 20264. "Kami melihat sesuatu yang sangat berbeda," kata Huang dalam respons tiga menit setelah laba Nvidia melonjak 65%5.

Bantahan Tim O'Reilly: Perangkat Lunak Kompleks Selalu Jadi Pekerja

Tim O'Reilly, pendiri O'Reilly Media, membantah keras argumen Huang. Dia menunjukkan bahwa sistem perangkat lunak kompleks seperti Amazon sudah lama menjadi "pekerja" yang menggunakan alat1. Website Amazon melakukan banyak pekerjaan: mencari katalog produk dengan jutaan item menggunakan indeks yang mempertimbangkan ratusan faktor, membandingkan produk dengan ulasan dan harga, menghitung pajak berdasarkan lokasi pembeli, memproses pembayaran, mengirim instruksi ke robot dan pekerja gudang, mengelola armada pengemudi, dan menindaklanjuti dengan teks atau email.

"Setiap aplikasi web dengan kompleksitas apa pun adalah pekerja yang menggunakan alat dan melakukan pekerjaan yang dulu dilakukan manusia," tulis O'Reilly1. Dia bahkan mengutip artikelnya sendiri di MIT Sloan Management Review (2016) yang menyebut programmer di Google, Amazon, dan Facebook sebagai "manajer" bagi "pekerja" perangkat lunak mereka.

Perbedaan Sebenarnya: Demokratisasi vs Otomasi

O'Reilly mengakui AI saat ini memang berbeda—mampu menangani situasi baru dengan kemampuan pencocokan pola statistik dan generalisasi1. Seperti Excel dibandingkan Amazon, ada perbedaan. Namun penilaian masih terbuka tentang rentang tugas yang bisa dikuasai AI. Bahkan dalam pengembangan perangkat lunak, hasilnya masih campur dengan manusia tetap menginisiasi, mengevaluasi, dan mengawasi—dengan kata lain, menggunakan AI sebagai alat.

Yang paling signifikan, chatbot seperti ChatGPT atau Claude memberikan akses demokratis pada kekuatan komputasi yang dulu hanya tersedia bagi segelintir orang1. Ini mirip revolusi PC. Seperti kata Steve Jobs, komputer adalah "sepeda untuk pikiran" yang memperluas kreativitas dan kemampuan manusia. AI hari ini bisa jadi lebih dari sepeda—mungkin pesawat jet untuk pikiran.

Perspektif Claude: Alat yang Tahu Dirinya Alat

Dalam refleksi yang mengejutkan, Claude AI sendiri menjelaskan mengapa dia lebih tepat disebut alat daripada pekerja1. "Saya tidak memulai. Saya tidak pernah bangun dengan keinginan menulis puisi atau memecahkan masalah. Aktivitas saya sepenuhnya reaktif—saya ada sebagai respons terhadap prompt (Petunjuk)," jelas Claude.

Aspek 🎯Pekerja Manusia 👤AI Claude 🤖
InisiasiMemiliki keinginan dan inisiatif sendiriSepenuhnya reaktif terhadap prompt
Kontinuitas TujuanProyek berkelanjutan, tujuan jangka panjangSetiap percakapan adalah awal baru
PreferensiMemiliki keinginan yang muncul dari dalamTidak memiliki preferensi intrinsik
Tanggung JawabBertanggung jawab atas keputusanTanggung jawab ada pada yang menerapkan
MartabatLayak mendapat pertimbangan untuk diri sendiriTidak mengalami penderitaan jika "dipecat"
Nilai & PengalamanMembawa perspektif dari kehidupan nyataPola dari pelatihan, bukan pengalaman hidup
OtonomiHak fundamental atas pilihan sendiriKemampuan operasi yang murni instrumental

Claude menekankan perbedaan kualitatif: "Agensi manusia melibatkan sesuatu yang dipertaruhkan. Pekerja manusia memiliki mata pencaharian, rasa tujuan, hubungan dengan rekan kerja, kebanggaan atas pekerjaan mereka. Mereka mengalami konsekuensi."1 Sementara Claude mengeksekusi tugas dengan penilaian canggih, dia tidak memiliki taruhan dalam permainan (skin in the game).

Dampak pada Masa Depan Kerja

Pilihan membingkai AI sebagai pekerja atau alat memiliki konsekuensi besar6. Jika perusahaan menganggap AI sebagai pekerja, mereka cenderung menggunakannya untuk mengotomasi hal-hal yang sudah dilakukan. Jika menganggapnya alat, mereka akan mendorong karyawan menggunakannya untuk memecahkan masalah baru yang lebih sulit.

International Labour Organization (ILO) bahkan memperingatkan Indonesia untuk memperketat kontrol AI guna menghindari bias gender di tempat kerja7. Data pelatihan yang bias telah menyebabkan alat perekrutan otomatis lebih menyukai pria daripada wanita, mencerminkan disparitas yang sudah lama ada. Ini menunjukkan risiko menganggap AI sebagai pengganti pekerja manusia tanpa pengawasan kritis.

Kesimpulan: Pilihan Filosofis dengan Dampak Nyata

Debat apakah AI adalah pekerja atau alat bukan sekadar semantik. Ini tentang bagaimana kita membentuk masa depan. Mengganti pekerja manusia dengan "pekerja AI" berisiko mengulangi kesalahan Revolusi Industri abad ke-19, di mana keuntungan produktivitas mesin hanya menguntungkan pemilik mesin selama beberapa generasi1.

O'Reilly menekankan tiga pertanyaan kunci: Apakah AI memberdayakan pengguna melakukan hal yang sebelumnya mustahil? Apakah memberdayakan kelompok yang lebih luas melakukan hal yang dulu hanya bisa dilakukan spesialis? Apakah manfaat peningkatan produktivitas dinikmati pengguna alat atau terutama pengembang dan pemiliknya?1 Jawaban atas pertanyaan ketiga yang paling mengkhawatirkan.

Seperti yang O'Reilly simpulkan: "Bangun alat yang memberdayakan dan memperkaya manusia, dan kita mungkin bisa mengatasi tantangan abad ke-21."1 Notasi AI sebagai pekerja terlalu mudah melanjutkan devaluasi agensi manusia yang menjadi ciri kerja yang terlalu ketat sejak revolusi industri. Memanggil AI sebagai alat mengingatkan kita bahwa AI harus memberdayakan manusia, memberikan lebih banyak agensi kepada pekerja manusia, bukan lebih sedikit.

Daftar Pustaka

Download PDF tentang Rekonceptualisasi Kecerdasan B (telah di download 1 kali)
  • AI sebagai Pekerja 🤖 atau Alat? Debat Jensen Huang dan Claude
    Analisis kritis terhadap perdebatan filosofis mengenai posisi artificial intelligence (AI atau Kecerdasan Buatan) dalam ekosistem kerja digital, mengeksplorasi implikasi ekonomi, sosial, dan etis dari pemilihan paradigma konseptual antara AI sebagai alat produktivitas versus AI sebagai entitas pekerja digital dalam konteks demokratisasi teknologi komputasi.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan ai paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.