{!-- ra:00000000000003ea0000000000000000 --}Filsafat Sains 🔬 Hadapi Dilema Demokratisasi di Era Politik Modern - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Filsafat Sains 🔬 Hadapi Dilema Demokratisasi di Era Politik Modern
10
October 2025

Filsafat Sains 🔬 Hadapi Dilema Demokratisasi di Era Politik Modern

  • 2
  • 10 October 2025
Filsafat Sains 🔬 Hadapi Dilema Demokratisasi di Era Politik Modern

Filsafat ilmu pengetahuan kini tak lagi terbatas pd pembahasan struktur logis teori-teori ilmiah semata. Para filosof kontemporer mulai menganalisis bagaimana eksperimen dilakukan, bagaimana dimensi sosial dan material riset berkontribusi pada pencapaian tujuan epistemik, serta apa itu data dan bagaimana data tersebut diproduksi.1 Pergeseran fokus ini membawa konsekuensi mendalam terhadap hubungan antara sains dan masyarakat yg selama ini diatur oleh kontrak sosial tradisional.

Kontrak Sosial Lama dan Menara Gading Ilmu Pengetahuan

Selama bertahun-tahun, hubungan sains dgn masyarakat diatur melalui sebuah kontrak sosial yang mengonsepkan sains sebagai aktivitas epistemik murni yg dilakukan di dalam Menara Gading (Ivory Tower) yang terisolasi. Model ini memberikan kebebasan kepada ilmuwan untuk mengejar Kebenaran Alam, menetapkan prioritas riset, dan memilih metode penelitian, sementara tanggung jawab implementasi hasil penelitian diserahkan kepada pihak lain seperti politisi dan pembuat kebijakan.2 Karena penerapan pengetahuan yg diproduksi dlm Menara Gading ini, dengan satu atau lain cara, menguntungkan masyarakat maka masyarakat memiliki kewajiban untuk mendukung riset ilmiah, misalnya melalui alokasi pendanaan yg memadai.

Pemisahan tradisional antara pengetahuan "murni" dan "terapan" kini semakin dipertanyakan, khususnya dalam konteks proyek riset Inovasi dan Pengembangan yang didanai publik. Ilmuwan, seperti orang lain, punya kewajiban moral untuk mencegah bahaya, sehingga ide bahwa sains harus dilakukan oleh komunitas ilmiah yg terisolasi secara sosial dan hanya tertarik pada "masalah epistemik murni" tampak semakin tidak dapat dipertahankan lagi.3

Dilema Demokrasi Liberal dan Peran Ahli

Demokrasi liberal menghadapi dilema kompleks dalam hal ini. Di satu sisi, politisi harus mencari dan mengandalkan saran para ahli ketika menghadapi isu-isu kompleks yg memerlukan pengetahuan khusus yang sangat terspesialisasi. Namun di sisi lain para ahli ilmiah dapat berakhir menjadi elit yg tidak dipilih melalui pemilu, namun mampu mempengaruhi keputusan politik.4 Ide bahwa sains adalah aktivitas yang terpisah dan memberikan pengetahuan fakta murni yg imparsial kepada pembuat keputusan ternyata tidak dapat dipertahankan lagi juga. Ternyata para ahli ilmiah memang terlibat secara aktif dalam ranah politik, dengan beberapa pihak khawatir bahwa garis antara memberikan nasihat dan epistokrasi terlalu mudah untuk dilanggar.

Usulan Demokratisasi Sains oleh Philip Kitcher

Sebagai jalan keluar dari dilema ini beberapa filosof menyarankan untuk membuang kontrak sosial lama dan memungkinkan publik untuk terlibat langsung dalam proses keputusan ilmiah. Dalam bukunya Science, Truth, and Democracy (2001) dan Science in a Democratic Society (2011), Philip Kitcher mengembangkan ideal "Sains yang Tertata Baik" (Well-Ordered Science).5 Dalam model ideal Kitcher, panel warga yg terdidik dan terinformasi dengan baik, mewakili berbagai nilai, kepentingan, dan sudut pandang, terlibat secara aktif dalam percakapan yg konstruktif dan kritis dengan para ilmuwan.

Hasil dari percakapan yg melibatkan berbagai pihak tersebut akan menjadi konsensus tentang prioritas riset dan pilihan metodologis. Yang disebut "mini publik" warga adalah cara untuk mengimplementasikan ideal ini dalam praktik. Dalam bukunya Politics and Expertise (2021), Zeynep Pamuk berpendapat bahwa inisiatif serupa masih belum cukup demokratis karena mini publik biasanya dipanggil untuk bermusyawarah tentang agenda yg sudah ditetapkan oleh para ahli ilmiah.6

Tantangan Demokratisasi di Dunia Nyata

Para filosof tidak sendirian dlm mengembangkan ide demokratisasi sains. Ada literatur besar dalam Studi Sains dan Teknologi serta kebijakan sains yg mengeksplorasi model-model baru untuk "ko-produksi" pengetahuan ilmiah dan keterlibatan yg lebih kuat dari ilmuwan dengan warga dan pemangku kepentingan lainnya. Salah satu argumen yg mendukung demokratisasi adalah bahwa hal itu akan memulihkan kepercayaan publik terhadap sains.7 Ironisnya, argumen ini dikembangkan pada saat ada ketidakpercayaan yg tumbuh terhadap demokrasi itu sendiri, dgn beberapa sarjana filsafat politik bahkan mengklaim bahwa kita telah memasuki "masyarakat pasca-demokratis".

Terlalu sering kita menyaksikan pemerintah yg dipilih secara demokratis mendorong skeptisisme terhadap sains, menyebarkan "kebenaran alternatif", dan bahkan membuat distinsi mereka sendiri tentang apa yg ilmiah dan apa yg bukan dgn menyatakan, misalnya, bahwa ilmu iklim adalah pseudo-sains yg didorong oleh "ideologi" daripada observasi fakta murni. Perlu dicatat bahwa pemerintah-pemerintah ini telah mendapatkan kekuasaan melalui mekanisme institusional demokratis tradisional.8 Kalau demokrasi dapat mengarah pada pemerintahan yg meragukan, bagaimana kita bisa yakin bahwa itu akan membuat sains lebih adil?

Dua Pilihan bagi Para Filosof

Para filosof kemudian punya dua pilihan. Mereka mungkin saja menerima kenyataan bahwa meskipun institusi demokratis dapat mengarah pada hasil yg tidak diinginkan secara sosial demokrasi tetap merupakan bentuk pemerintahan terbaik yg tersedia dan, secara refleks juga bentuk tata kelola sains terbaik. Jika demikian, alih-alih menyerah pd ide sains yg didemokratisasi, kita semua harus bekerja untuk melestarikan institusi demokratis dari penyalahgunaan dan manipulasi.9 Singkatnya demokrasi memang tidak sempurna tetapi setidaknya dapat disempurnakan.

Mempertimbangkan Kembali Otonomi Sains

Ada pilihan kedua yaitu mempertimbangkan kembali ide lama tentang sains yg otonom. Model kontrak sosial tradisional menganggap sains sebagai otonom dan terisolasi secara sosial, namun perlu ditekankan bahwa model seperti itu menjadi populer setelah Perang Dunia II, pertama dlm kebijakan publik AS kemudian di seluruh dunia. Secara konseptual, otonomi tidak menyiratkan ketidaktertarikan, ketidakbertanggungjawaban atau "apati sosial". Sebaliknya malah bisa terjadi bahwa otonomi bisa menjadi prasyarat tanggung jawab.10 Jika hanya agen otonom dan bertanggung jawab yg dapat berkontribusi secara aktif dan konstruktif terhadap demokrasi maka kita sebagai filosof harus merefleksikan bagaimana membuat sains bertanggung jawab daripada sekadar mengikuti tren demokratisasi.

Kesimpulan

Para filosof sains telah mengkritik Menara Gading ilmiah dan mengusulkan demokratisasi utk membawa ilmuwan keluar dari menara mereka dan masuk ke dunia nyata. Mereka melakukannya dgn mengandaikan konsepsi demokrasi yg ideal dan hampir diromanisasi. Jika filosof sains ingin sepenuhnya "politik" dan menganalisis hubungan sains/masyarakat sebagaimana yg terjadi di dunia nyata mereka mungkin ingin menambahkan sentuhan "realisme politik" ke dalam perdebatan mereka. Ini akan mengharuskan mereka untuk keluar dari Menara Gading mereka sendiri dan melihat dunia yg berantakan, rumit dan bergejolak tempat kita hidup.

Referensi

  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
  • Politi, V. (2025, October 10). The Ivory Tower We Do Not See: On Science, Politics, and Philosophy. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/10/the-ivory-tower-we-do-not-see-on-science-politics-and-philosophy/
Download PDF tentang Menara Gading yang Tak Terliha (telah di download 10 kali)
  • Filsafat Sains 🔬 Hadapi Dilema Demokratisasi di Era Politik Modern
    Filsafat ilmu pengetahuan kini tak lagi terbatas pd pembahasan struktur logis teori-teori ilmiah semata. Para filosof kontemporer mulai menganalisis bagaimana eksperimen dilakukan, bagaimana dimensi sosial dan material riset berkontribusi pada pencapaian tujuan epistemik, serta apa itu data dan bagaimana data tersebut diproduksi.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.