Setiap profesi memiliki anggota bermasalah, tidak terkecuali bidang kedokteran. Presentase dokter bermasalah memang rendah, namun dampaknya bisa sangat fatal—berbeda dengan dosen yang tidak kompeten yang hanya menghambat pembelajaran, dokter yang tidak kompeten bisa mengakibatkan kematian1. Consumer Reports pada 2016 menerbitkan artikel Rachel Rabkin Peachman tentang dokter bermasalah dan kesulitan pasien dalam mengetahui apakah seorang dokter berkualitas atau justru berbahaya.
Tiga Masalah Utama dalam Sistem Pengawasan Dokter
Masalah pertama yang jelas adalah eksistensi dokter bermasalah itu sendiri. Artikel tersebut menyajikan berbagai contoh mengerikan: dokter yang melecehkan pasien, dokter yang mengangkat organ tubuh sehat tanpa alasan medis, hingga kematian pasien akibat kelalaian, gangguan, atau inkompetesi2. Semua ini merupakan kegagalan moral dan profesional yang seharusnya tidak terjadi dalam praktik medis.
Masalah kedua terletak pada sistem disipliner yang cenderung lemah. Meski dokter berhak mendapat proses hukum yang adil (due process), hambatannya mungkin terlalu tinggi3. Respons yang diberikan sering sangat ringan—dokter yang kelalaiannya menyebabkan kematian pasien bisa terus praktik dengan pembatasan minor. Contoh lain: dokter yang terlibat pelecehan seksual hanya diwajibkan mengikuti kelas etika dan kehadiran pendamping saat memeriksa pasien. Selain kekhawatiran praktis, ada juga masalah moral: dewan disipliner gagal melindungi pasien secara memadai.
| Jenis Pelanggaran | Sanksi yang Sering Diberikan | Dampak Potensial |
|---|---|---|
| Kelalaian Fatal | Pembatasan Praktik Minor | Pasien lain berisiko |
| Pelecehan Seksual | Kelas Etika + Pendamping | Trauma korban tidak terselesaikan |
| Pengangkatan Organ Sehat | Peringatan Tertulis | Malpraktik berulang |
| Praktik di Bawah Pengaruh | Rehabilitasi Sukarela | Kecelakaan medis |
| Pemalsuan Rekam Medis | Denda Administratif | Hilangnya kepercayaan publik |
| Pelanggaran Privasi | Teguran Lisan | Data pasien tersebar |
| Praktik Tanpa Izin | Penundaan Sementara | Standar tidak terjaga |
Argumen Utilitarian: Kekurangan Dokter vs Perlindungan Pasien
Ada argumen yang menyatakan bahwa hukuman lebih keras akan memperburuk situasi karena selalu ada kekurangan dokter4. Secara kasar: lebih baik punya dokter yang mungkin membunuh satu atau dua pasien daripada tidak punya dokter sama sekali karena itu akan menyebabkan lebih banyak kematian. Argumen utilitarian ini memiliki daya tarik tertentu.
Namun ada pertanyaan faktual: apakah hukuman ringan benar-benar menghasilkan lebih banyak manfaat daripada bahaya? Jika ya, kita harus menerima pendekatan ini sebagai sesuatu yang dapat ditoleransi secara moral. Jika tidak, argumen akan gagal5. Ada juga pandangan bahwa konsekuensi bukan satu-satunya yang penting—orang harus dihukum berdasarkan kesalahannya, bukan berdasarkan perhitungan utilitas semata.
Kesulitan Akses Informasi: National Practitioner Data Bank
Masalah ketiga adalah sangat sulitnya pasien mendapatkan informasi tentang dokter bermasalah. Meski ada National Practitioner Data Bank (NPDB), database ini tidak dapat diakses pasien dan terbatas pada penegak hukum, administrasi rumah sakit, asuransi, dan beberapa kelompok lainnya6.
Argumen utama menolak akses publik ke NPDB adalah database berisi informasi tidak akurat yang bisa merugikan dokter tak bersalah. Ini mirip dengan data laporan kredit yang terkenal berisi kesalahan merugikan. Namun premis ini seharusnya mendukung kesimpulan bahwa NPDB harus ditinjau secara berkala untuk memastikan akurasi informasi7. Meski akurasi sempurna tidak mungkin, informasi bisa memenuhi standar akurasi yang wajar.
Beban Riset yang Tidak Adil bagi Pasien
Pasien memiliki akses terbatas ke data tentang dokter, tapi dengan banyak hambatan. Kadang ada biaya finansial untuk mengakses data. Hampir semua kasus mengharuskan pasien meneliti dokumen panjang dan memahami bahasa hukum yang rumit8. Data sering tidak lengkap dan tidak akurat juga. Bisa dikatakan bahwa pasien yang bertanggung jawab harus menghabiskan sumber daya untuk meneliti dokternya, tapi ini permintaan yang tidak masuk akal.
Orang yang mencari dokter kemungkinan sedang sakit atau terluka, dan mengharapkan mereka menambah beban proyek riset adalah tidak wajar. Selain itu, peran sah negara adalah melindungi warga dari bahaya9, dan menyediakan cara jelas untuk mengidentifikasi dokter bermasalah tampaknya masuk dalam lingkup ini.
Kesimpulan: Transparansi untuk Keputusan Informed
Berdasarkan pertimbangan di atas, wajar menerima bahwa pasien punya hak mengetahui kompetensi dokternya dan harus memiliki cara mudah mendapatkan informasi akurat. Ini memungkinkan pasien membuat pilihan berdasarkan informasi (informed choice) tentang dokter tanpa menghadapi beban yang tidak semestinya10. Sistem ini juga akan membantu profesi karena dokter baik akan menarik lebih banyak pasien dan dokter bermasalah akan punya insentif lebih besar untuk memperbaiki praktiknya.
Daftar Pustaka
- LaBossiere, M. (2025, Oktober 18). A Patient's Right to Know. A Philosophers Blog. https://aphilosopher.drmcl.com/2025/10/18/a-patients-right-to-know/
- Peachman, R.R. (2016). Bad Doctors and Patient Difficulty. Consumer Reports. Dikutip dalam LaBossiere (2025).
- LaBossiere, M. (2025, Oktober 18). Ibid.
- LaBossiere, M. (2025, Oktober 18). Loc. Cit.
- LaBossiere, M. (2025, Oktober 18). Op. Cit.
- National Practitioner Data Bank. (n.d.). NPDB Access Policy. Dikutip dalam LaBossiere (2025).
- LaBossiere, M. (2025, Oktober 18). Op. Cit.
- LaBossiere, M. (2025, Oktober 18). Op. Cit.
- LaBossiere, M. (2025, Oktober 18). Op. Cit.
- LaBossiere, M. (2025, Oktober 18). A Patient's Right to Know. A Philosophers Blog. https://aphilosopher.drmcl.com/2025/10/18/a-patients-right-to-know/


