{!-- ra:00000000000003ea0000000000000000 --}Apakah Kita 🆓 Bebas Bertindak atau Ditentukan oleh Kausalitas? Debat Filosofis Abadi tentang Kehendak Bebas - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Apakah Kita 🆓 Bebas Bertindak atau Ditentukan oleh Kausalitas? Debat Filosofis Abadi tentang Kehendak Bebas
6
October 2025

Apakah Kita 🆓 Bebas Bertindak atau Ditentukan oleh Kausalitas? Debat Filosofis Abadi tentang Kehendak Bebas

  • 2
  • 06 October 2025

Pertanyaan mendasar tentang kebebasan manusia kembali mencuat. Raimundo Díaz, filosof dari Blog of the APA, mengangkat diskusi klasik: apakah tindakan kita benar-benar bebas, atau semuanya sudah ditentukan oleh hukum sebab-akibat1? Ini bukan sekadar perdebatan akademis. Menyangkut tanggung jawab moral kita.

Díaz menulis pada 6 Oktober 2025, menjelaskan bahwa pertanyaan ini memaksa kita menerima berbagai tingkat determinism (determinisme). Bahkan kebebasan dan kausalitas mungkin kompatibel1. Santo Agustinus sudah mengumumkan ini—providensi ilahi tidak menghilangkan kehendak bebas.

Fenomena yang Tak Terbantahkan: Spontanitas dan Penyesalan

Posisi inkompatibel—di mana determinisme mengecualikan kebebasan sejati—sulit direkonsiliasi dengan fenomena seperti spontanitas, penyesalan, pemberontakan. Resistensi1. Kapasitas untuk masa depan hanya menemukan tempatnya dalam kebebasan, tulis Díaz. Dan kehendak bebas menjelaskan fenomena lain: singularitas.

Ada banyak jenis pohon. Berbuah, tidak berbuah. Berdaun lebat atau tidak. Gugur atau hijau abadi—tapi semua tumbuh ke atas1. Determinisme alam dibangun di atas fondasi homogenitas. Tapi manusia berbeda. Ada sebanyak singularitas seperti ada individu. Trait ini hanya kompatibel dengan kebebasan.

Sensasi Rasional: Pengalaman Tidak Bebas sebagai Bukti Kebebasan

Untuk banyak alasan kausal yang mengatur tindakan kita, kita mengalami sensasi tidak bebas saat bertindak1. Dan sensasi rasional inilah yang benar-benar membentuk kebebasan kehendak, kata Díaz. Paradoks yang menarik.

Semakin jauh dari dunia alami, semakin mudah menjauh dari determinisme. Kehendak bebas: melawan hukum alam, memaksakan kebebasan kita. Kant bilang kebebasan milik ranah noumenal (dunia benda pada dirinya sendiri); di dunia phenomenal (fenomenal), hukum alam—dan determinisme—berlaku2.

Dari Kant hingga Eksistensialisme: Kontrol Diri sebagai Kebebasan

Hanya di ranah noumenal kita bisa mengalami kebebasan atau moralitas. Keduanya produk akal—bukan empiris, tak bisa diuji di laboratorium2. Jika adopsi tesis eksistensialis, kita lebih jauh lagi: kapasitas untuk kontrol diri membentuk kebebasan dan prinsip tanggung jawab. Kapasitas ini meluas hingga refleksi apakah kita bebas atau tidak—manifestasi ultimat eksistensi kita sendiri.

Tujuan menangguhkan keinginan kita: untuk memikirkan apakah sejalan dengan nilai-nilai1. Tapi debat bisa dibuka ulang—nilai-nilai ini mungkin dikondisikan secara kausal dan mengondisikan kita ke perilaku yang telah ditentukan. Contoh: seseorang mencuri makanan karena lapar. Dia ingin makan, mempertimbangkan mencuri. Sebelum melakukan tindak kriminal, dia menangguhkan keinginannya, merefleksikan apakah mencuri sejalan dengan nilai-nilainya.

Pencuri dan Pengacara: Siapa yang Benar?

Namun pencuri bisa berargumen bahwa nilai yang mencegah mencuri hanya masalah kenyamanan sosial atau normatif1. Pengacara bisa berargumen di pengadilan bahwa nilai tersebut bukan kepatuhan norma, tapi survival (bertahan hidup). Dalam kedua kasus, keputusan deterministik. Artinya orang yang tak bisa memikirkan keinginannya sendiri adalah orang yang tak bisa mengontrol diri—karenanya tidak bebas bertindak.

Untuk memparafrasekan Nietzsche: kita hidup dalam rantai, tapi bebas memilih rantai kita3. Frase ini mengekspresikan ide mirip pemikiran Nietzsche tentang amor fati (cinta takdir), meski bukan kutipan literal. Nietzsche menulis dalam The Gay Science (1882): "Saya ingin lebih banyak belajar melihat yang perlu dalam hal-hal sebagai yang indah"3.

Peran Orang Lain dalam Kebebasan Kita

Jika klaim kita bebas karena bisa menangguhkan keinginan untuk memikirkannya, kita bertanya: apakah penangguhan ini sukarela atau dipaksa1? Kita berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga kita berasumsi yang lain, seperti diri kita, punya kapasitas menangguhkan keinginannya demi tujuan dan alasan. Jadi kritik yang dibuat kepada kita menjadi motif mengapa kita belajar bertindak menurut alasan4.

Yang lain punya komponen identitas relevan dalam proses deliberasi yang membentuk kebebasan—memberinya dimensi kolektif atau politis. Resiprositas: menuntut dari yang lain apa yang diharapkan dari diri sendiri1. Mengingatkan imperatif kategoris Kantian.

Apakah yang lain ancaman bagi identitas kita? Tentu, kekhasan memberi makna praktis untuk bertindak menurut alasan—hanya di ranah komunitas reorientasi perilaku masuk akal1. Tapi perbedaan ini tak boleh dilihat sebagai sesuatu yang jahat, hanya dalam hal intersubjektivitas. Tuduhan dari yang lain untuk bertindak menurut alasan harus diarahkan ke awal atau dorongan proses deliberatif internal. Jika yang lain malah melakukan dominasi atau koersi atas kita, perannya dalam kebebasan deliberatif semua orang akan berakhir dalam determinisme murni.

Kesimpulan: Kompatibilitas yang Kompleks

Perdebatan kebebasan versus kausalitas tidak hitam-putih. Díaz menyajikan argumen bahwa kebebasan dan determinisme mungkin kompatibel pada level tertentu. Singularitas manusia, sensasi tidak bebas, kapasitas refleksi—semua menunjuk pada kebebasan yang nyata meski beroperasi dalam kerangka kausal. Peran sosial dan intersubjektivitas menambah dimensi kolektif pada kebebasan individual. Yang pasti: pertanyaan ini tetap relevan untuk memahami tanggung jawab moral dan eksistensi manusia.

Daftar Pustaka

  • Díaz, R. (2025, Oktober 6). Are we free to act or determined by causality? Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/06/are-we-free-to-act-or-determined-by-causality/
  • Kant, I. (2007). Critique of Practical Reason (M. García Morente, Trans.). Alianza Editorial. (Karya asli diterbitkan 1788). Sebagaimana dikutip dalam Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/06/are-we-free-to-act-or-determined-by-causality/
  • Nietzsche, F. (1882). The Gay Science (Aphorism 276). Sebagaimana dikutip dalam Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/06/are-we-free-to-act-or-determined-by-causality/
  • Tugendhat, E. (2006). The Problem of Free Will. Universitas Philosophica, 23(46), 35–51. https://www.scielo.org.co/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0121-36282006000200014
Download PDF tentang Kebebasan Bertindak dan Determ (telah di download 10 kali)
  • Apakah Kita 🆓 Bebas Bertindak atau Ditentukan oleh Kausalitas? Debat Filosofis Abadi tentang Kehendak Bebas
    Pertanyaan mendasar tentang apakah manusia benar-benar bebas bertindak atau sepenuhnya ditentukan oleh kausalitas telah menjadi perdebatan filosofis sejak era klasik hingga kontemporer. Artikel ini mengeksplorasi kompatibilitas antara kebebasan dan determinisme melalui lensa pemikiran Kant tentang dunia noumenal (dunia benda-dalam-dirinya) versus phenomenal (dunia fenomenal), serta konsep Nietzsche tentang amor fati (cinta takdir) dan tanggung jawab personal dalam menghadapi kondisi eksistensial yang tak terelakkan.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.