{!-- ra:00000000000003ea0000000000000000 --}Gugatan TikTok-Instagram Lolos: Algoritma Jadi Sorotan Hakim NY - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Gugatan TikTok-Instagram Lolos: Algoritma Jadi Sorotan Hakim NY
20
July 2025

Gugatan TikTok-Instagram Lolos: Algoritma Jadi Sorotan Hakim NY

  • 55
  • 20 July 2025
Gugatan TikTok-Instagram Lolos: Algoritma Jadi Sorotan Hakim NY

Latar Belakang Kasus Tragis Subway Surfing

Dalam sebuah keputusan yg mengejutkan dunia teknologi, Pengadilan Negeri New York telah memutuskan untuk melanjutkan gugatan terhadap TikTok dan Instagram dlm kasus Nazario v. ByteDance. Kasus ini bermula dari tragedi yang melibatkan praktik berbahaya yang disebut subway surfing - sebuah aktivitas di mana seseorang bergelantungan atau berdiri di atas kereta bawah tanah yang sedang bergerak1.

Penggugat dalam kasus ini mengklaim bahwa anaknya, Zackery, meninggal dunia ketika melakukan subway surfing. Tragisnya, aktivitas ini diduga dilakukan karena ia terpengaruh oleh video-video yang ia lihat di platform TikTok dan Instagram. Keluarga Nazario berargumen bahwa algoritma kedua platform tersebut secara aktif mendorong konten berbahaya kepada anak mereka tanpa adanya indikasi bahwa ia tertarik pada konten semacam itu2.

Yang menarik dari kasus ini adalah bagaimana pengadilan melihat peran algoritma dalam menyebarkan konten. Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya yang sering kali terhenti karena perlindungan Section 230, kali ini hakim menunjukkan perspektif yang lebih terbuka terhadap argumen bahwa platform media sosial mungkin memiliki tanggung jawab lebih besar daripada sekadar menjadi neutral conduit untuk konten buatan pengguna.

Perlindungan Section 230 Ditantang

Argumen Algoritma vs Editorial Decision

Salah satu argumen utama yang diajukan oleh terdakwa adalah bahwa mereka dilindungi oleh Section 230 karena tidak berperan sebagai penerbit atau pembicara konten yang dibuat oleh pengguna. Mereka berargumen kalau fitur-fitur editing yang mereka sediakan tidak membuat mereka menjadi co-creator dari konten tersebut3.

Pengadilan pada awalnya setuju dengan argumen ini, menyatakan bahwa platform media sosial memang menyediakan fitur-fitur untuk personalisasi konten dan membuatnya lebih engaging, namun tetap pengguna yang memilih fitur apa yang akan digunakan. Keputusan editorial tetap berada di tangan pengguna, bukan platform. Namun demikian, argument tentang algoritma membuka perdebatan baru yg lebih kompleks.

Penggugat kemudian mengajukan argumen berbeda - bahwa klaim mereka tidak berdasarkan pada tampilan pasif konten populer atau yang diminta pengguna, tetapi pada pilihan aktif platform untuk "membanjiri" Zackery dengan konten yang tidak ia cari, khususnya konten yang melibatkan tantangan berbahaya4. Ini menciptakan distingsi yang menarik antara editorial decision tradisional dengan algorithmic curation.

Perdebatan Discovery dan Privasi Editorial

Pengadilan mengindikasikan bahwa untuk menentukan apakah Section 230 berlaku dalam kasus ini, diperlukan discovery lebih lanjut untuk mengungkap bagaimana Zackery diarahkan ke konten subway surfing tersebut. Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan praktisi hukum teknologi karena discovery semacam ini dapat melanggar hak prerogatif editorial penerbit5.

Kritik utama terhadap pendekatan pengadilan ini adalah bahwa hal tersebut mengabaikan prinsip fundamental Section 230 yang menyatakan bahwa tidak penting apakah layanan "secara pasif" menampilkan konten atau "secara aktif" menyorotinya - kedua pilihan tersebut tetap merupakan keputusan editorial yang sepenuhnya dilindungi. Distingi antara "neutral assistance" dan "active identification" yang dibuat pengadilan dianggap sebagai dikotomi palsu6.

Para ahli hukum teknologi mempertanyakan informasi apa yang dapat mengubah jawaban melalui discovery ini. Jika "algoritma" yang bertanggung jawab, lalu apa selanjutnya? Pertanyaan ini mengingatkan pada diskusi dalam kasus Roommates.com tentang gigitan bebek dan bagaimana mengizinkan discovery adalah salah satu konsekuensi yang dirancang untuk dihindari oleh Section 230.

Aspek First Amendment dan Kebebasan Berekspresi

Selain tantangan terhadap Section 230, terdakwa juga mengajukan pembelaan berdasarkan First Amendment. Namun, pengadilan juga menunda keputusan mengenai pembelaan First Amendment hingga setelah discovery terkait operasi algoritma yang digunakan7. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pengadilan ingin memahami lebih dalam bagaimana teknologi bekerja sebelum memutuskan apakah konten curation algorithmic termasuk dalam perlindungan kebebasan berbicara.

Dalam konteks First Amendment, platform media sosial umumnya berargumen bahwa algorithmic curation merupakan bentuk editorial speech yang dilindungi. Mereka menyatakan kalau pemilihan dan penyajian konten kepada pengguna tertentu adalah bagian dari hak mereka untuk mengekspresikan pandangan editorial mereka tentang konten apa yg relevan atau menarik bagi audiens tertentu.

Namun, kasus ini menantang paradigma tersebut dengan mempertanyakan apakah ada batasan terhadap perlindungan First Amendment ketika speech tersebut berpotensi membahayakan, khususnya terhadap anak-anak. Perdebatan ini merefleksikan ketegangan yang lebih luas antara kebebasan berekspresi dan perlindungan publik dalam era digital.

Elemen Prima Facie dalam Gugatan

Pengadilan menyatakan bahwa klaim untuk product liability, negligence, dan wrongful death berhasil melewati mosi untuk menolak8. Keputusan ini signifikan karena menunjukkan bahwa pengadilan melihat adanya cukup merit dalam argumen penggugat untuk melanjutkan ke tahap discovery dan potentially trial.

Dalam konteks product liability, penggugat berargumen bahwa algoritma TikTok dan Instagram dapat dipandang sebagai produk yang cacat karena secara aktif mengarahkan konten berbahaya kepada pengguna muda tanpa peringatan yang memadai. Teori ini novel dlm konteks platform media sosial, yang tradisionally dipandang sebagai conduit untuk konten daripada sebagai produk itu sendiri.

Klaim negligence berfokus pada kegagalan platform untuk mengambil langkah-langkah yang wajar guna melindungi pengguna muda dari konten yang berpotensi berbahaya. Ini termasuk kegagalan untuk menyediakan peringatan yang memadai atau untuk mengimplementasikan safeguards yang dapat mencegah promosi konten berbahaya kepada anak-anak. Sementara itu, klaim wrongful death mengintegrasikan kedua teori tersebut untuk membangun case bahwa kematian Zackery adalah hasil langsung dari tindakan atau kelalaian terdakwa.

Dampak Hukum bagi Platform Media Sosial

Preseden untuk Kasus Serupa

Keputusan ini berpotensi menciptakan preseden penting dalam litigation terhadap platform media sosial. Fakta bahwa pengadilan bersedia untuk melihat melampaui perlindungan tradisional Section 230 dan mempertimbangkan peran aktif algoritma dalam content curation menandakan pergeseran potensial dalam landscape hukum9.

Kasus-kasus serupa di masa depan kemungkinan akan menggunakan precedent ini untuk menantang immunity yang selama ini dinikmati platform media sosial. Jika tren ini berlanjut, platform mungkin akan menghadapi increased litigation risk, yang dapat mempengaruhi cara mereka mengembangkan dan mengimplementasikan algoritma mereka. Yang menarik adalah bagaimana courts negara bagian lain akan merespon approach ini, mengingat ada variasi signifikan dalam interpretasi Section 230 di berbagai yurisdiksi.

Ancaman Terhadap Inovasi Teknologi

Para kritik keputusan ini berargumen bahwa allowing discovery dan potentially liability untuk algorithmic content curation dapat menghambat inovasi dalam teknologi rekomendasi. Platform media sosial bergantung pada algoritma sophisticated untuk memberikan user experience yang personalized dan relevant10.

Jika platform menghadapi liability untuk cara algoritma mereka mempromosikan konten, mereka mungkin akan menjadi lebih conservative dalam pendekatan mereka terhadap content curation. Ini bisa menghasilkan pengalaman pengguna yang kurang optimal, tetapi juga berpotensi mengurangi eksposur terhadap konten berbahaya. Trade-off ini mencerminkan tension fundamental antara innovation dan safety dalam teknologi.

Selain itu, ketidakpastian hukum yang dihasilkan dari keputusan ini dapat mempengaruhi investment dalam research dan development untuk teknologi AI dan machine learning yang digunakan dlm content recommendation systems. Startup dan companies yg lebih kecil mungkin lebih vulnerable terhadap impact ini daripada tech giants yang memiliki resources legal yang lebih besar.

Konteks Global dan Regulasi Platform Digital

Keputusan dalam kasus Nazario v. ByteDance terjadi dalam konteks regulatory scrutiny yang meningkat terhadap platform media sosial di seluruh dunia. Dari Digital Services Act di Eropa hingga berbagai inisiatif regulasi di Asia-Pacific, governments semakin fokus pada accountability platform untuk konten yang mereka promote11.

Di Indonesia, misalnya, recent developments dalam regulasi platform digital menunjukkan trend serupa toward increased oversight. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk ensure bahwa platform mematuhi local laws dan standards, termasuk requirements untuk content moderation dan user protection.

Context global ini penting karena decisions dalam kasus-kasus seperti ini dapat mempengaruhi how platform operate tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga secara international. Platform global seperti TikTok dan Instagram mungkin perlu develop different approaches untuk different markets, leading to increased complexity dlm operations mereka. Ini juga raises questions tentang jurisdiction dan applicable law dalam cases yang melibatkan global platforms dan users dari berbagai negara.

Perspektif Masa Depan Industri Media Sosial

Looking forward, kasus ini kemungkinan akan menjadi watershed moment dalam evolution hubungan antara platform media sosial dan sistem hukum. Regardless of ultimate outcome, fakta bahwa pengadilan willing untuk examine algorithmic decision-making processes menandakan pergeseran important dalam judicial thinking tentang technology platforms12.

Industry observers memprediksi bahwa platform akan perlu invest lebih banyak dalam compliance systems dan risk assessment tools untuk navigate increased legal exposure. Ini mungkin akan mengarah pada development of new industry standards dan best practices untuk algorithmic content curation, khususnya dalam contexts yang melibatkan vulnerable populations seperti minors.

Dalam jangka panjang, cases seperti ini dapat catalyst untuk legislative reform yang provides clearer guidance tentang liability platform untuk algorithmic decision-making. Sampai clarity tersebut muncul, platform akan continue to operate dalam environment of legal uncertainty, yang may ultimately benefit consumers melalui increased attention terhadap safety dan responsible AI practices dlm content recommendation systems. However, penting untuk balance these concerns dengan preserving innovation dan the benefits that personalized content dapat provide kepada users ketika implemented secara responsible.

Kesimpulan

Kasus Nazario v. ByteDance menandai momen penting dlm evolusi hukum teknologi, khususnya berkaitan dengan tanggung jawab platform media sosial atas algorithmic content curation. Keputusan pengadilan untuk melanjutkan gugatan dan mempertimbangkan discovery terkait operasi algoritma menantang paradigma tradisional perlindungan Section 230 dan membuka kemungkinan accountability yang lebih besar bagi platform digital.

Sementara outcome final dari kasus ini masih pending, implications-nya sudah clear: era di mana platform media sosial dapat beroperasi dengan near-complete immunity dari liability untuk third-party content mungkin sedang berakhir. Industry harus bersiap untuk landscape yang more complex di mana algorithmic decision-making processes dapat subject to legal scrutiny dan potential liability. Yang pasti, kasus ini akan watched closely oleh stakeholders di seluruh technology dan legal communities sebagai indicator penting untuk future regulation dan litigation dalam digital age.

Daftar Pustaka

  • Goldman, E. (2025, July 20). Social Media Addiction Lawsuit Proceeds Against TikTok and Instagram–Nazario v. Bytedance. Technology and Marketing Law Blog. https://blog.ericgoldman.org/archives/2025/07/social-media-addiction-lawsuit-proceeds-against-tiktok-and-instagram-nazario-v-bytedance.htm
Download PDF tentang Gugatan Kecanduan Media Sosial (telah di download 150 kali)
  • Gugatan TikTok-Instagram Lolos: Algoritma Jadi Sorotan Hakim NY
    Kasus hukum terbaru mengungkap bagaimana TikTok dan Instagram menghadapi gugatan terkait kematian remaja akibat praktik berbahaya "subway surfing" yang diduga dipicu oleh konten algoritma platform. Pengadilan menolak permohonan pembatalan gugatan, mempertanyakan perlindungan Section 230 terhadap desain produk dan algoritma rekomendasi yang menargetkan pengguna muda.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.