Kultus keunggulan (excellence) telah merasuki setiap aspek kehidupan kontemporer. Dari ruang kelas hingga ruang rapat, dari lapangan olahraga hingga galeri seni, tuntutan untuk menjadi "luar biasa" tidak lagi bersifat aspirasional melainkan menjadi norma wajib. Boris Kožnjak dalam artikelnya di Blog of the APA menyatakan bahwa "hantu keterbiasaan (ordinariness) menghantui Eropa" dimana semua kekuatan telah bersekutu untuk mengusir hantu tersebut1.
Fenomena ini menciptakan paradoks matematis yang fundamental. Jika semua orang dituntut unggul, maka tidak ada yang benar-benar unggul. Keunggulan secara definisi adalah penyimpangan di atas rata-rata, pengecualian dalam mean aritmatika hasil komunitas tertentu.
Tekanan Universal Menuju Kesempurnaan
Anak-anak harus mencapai "hasil cemerlang" sejak sekolah dasar. Kompetisi bahkan didorong di taman kanak-kanak dalam apa yang seharusnya menjadi permainan bebas dan kreatif mereka1. Setiap orang harus berlatih seperti "atlet top", seniman harus "membuat dampak" dan "dikenali di pasar seni", ilmuwan harus terus-menerus "menghasilkan keunggulan" hanya untuk bertahan hidup.
Bahkan spiritualitas modern semakin menjadi varian korporat dari candu tradisional bagi rakyat. Di sana berkuasa paksaan untuk terus "meningkatkan diri" dan "bekerja pada diri sendiri"1. Setiap orang harus membuktikan diri di pasar universal "keunggulan" ini, di hadapan pemberi kerja, audiens, bahkan di hadapan diri mereka sendiri karena dalam dunia seperti itu, emosi kita pun memiliki Key Performance Indicator (Indikator Kinerja Utama) tersendiri.
Dampak pada Berbagai Sektor Kehidupan
Tabel berikut menunjukkan bagaimana kultus keunggulan memanifestasikan dirinya di berbagai domain kehidupan modern:
| Sektor 🎯 | Manifestasi Kultus Keunggulan 📊 | Dampak Psikologis ⚡ |
|---|---|---|
| Pendidikan | Tuntutan hasil cemerlang sejak dini, kompetisi di TK | Tekanan berlebih, hilangnya masa kanak-kanak |
| Olahraga | Tidak ada lagi rekreasi, semua harus seperti atlet top | Kelelahan fisik dan mental prematur |
| Seni | Harus "membuat dampak" dan dikenali pasar | Komersialisasi kreativitas |
| Sains | Produksi keunggulan konstan untuk bertahan | Publikasi di atas substansi riset |
| Spiritualitas | Paksaan peningkatan diri berkelanjutan | Stres eksistensial terselubung |
| Korporat | KPI untuk setiap aspek termasuk emosi | Alienasi dan kelelahan emosional |
| Kehidupan Pribadi | Pembuktian diri terus-menerus | Krisis identitas, kecemasan eksistensial |
Kontradiksi Matematis dari Keunggulan Universal
Satu fakta semantik, logis, dan matematis elementer terlupakan di sini. Jika semua orang unggul, maka tidak ada yang unggul1. Keunggulan adalah fenomena manusiawi yang muncul dalam dialektika kreatif antara yang biasa dan yang luar biasa. Ini adalah ruang perbedaan, keberangkatan, dan terobosan.
Namun ketika logika pasar dari normativitas universal menuntut semua pesertanya "unggul", keunggulan kehilangan titik referensinya dan karenanya kehilangan maknanya. Secara formal, keunggulan adalah keberangkatan di atas rata-rata. Tetapi jika semua anggota harus unggul, perbandingan itu sendiri menghilang1.
Menemukan Makna dalam Keterbiasaan
Stuart Bingham, juara World Championship snooker, justru menjadi hit di Crucible karena "keterbiasaan yang indah" (beautiful ordinariness) yang dimilikinya2. Pria berusia 38 tahun dari Basildon ini menuai hasil dari kesederhanaannya. Ini menunjukkan bahwa dalam dunia yang terobsesi dengan keunggulan, ada kekuatan dalam menerima keterbiasaan.
Menemukan makna dalam keterbiasaan kehidupan sehari-hari dan menjadikan diri bermakna bagi orang lain adalah pesan yang bergema kuat dalam berbagai konteks3. Rata-rata, sebagai ukuran tendensi sentral, hanya dapat ada jika terdapat perbedaan: nilai yang lebih tinggi dan lebih rendah. Komunitas di mana setiap anggota berada di atas rata-rata adalah kontradiksi matematis.
Keindahan dalam Kesederhanaan Hidup
Tanpa perbedaan relatif dan varians, keunggulan menjadi slogan kosong: tampak mulia, tetapi secara logis berongga dan secara matematis tidak mungkin1. Itulah paradoks fundamental dari norma universal keunggulan modern, jika diukur dalam kaitannya dengan rata-rata dalam komunitas, kelompok, atau konteks.
Pada hari Minggu musim panas di kota tepi sungai Midwest tua, berjalan di bawah pohon elm, melewati halaman yang penuh dengan tanaman rambat dan bunga beraneka warna, kerja keras setiap pemilik rumah menciptakan keindahan dalam keterbiasaan4. Menjadi "rata-rata", menjadi "biasa", kini tidak hanya berarti tidak terlihat, tetapi ditakdirkan untuk kegagalan karier.
Kesimpulan
"Keterbiasaan" tidak memiliki tempat dalam "masyarakat keunggulan" yang dipoles ini. Manusia modern yang sukses adalah Übermensch (Manusia Super) dari "keunggulan" atau tidak ada sama sekali1. Namun realitas matematis membuktikan bahwa tuntutan universal ini pada dasarnya cacat. Keunggulan memerlukan kontras, memerlukan "yang biasa" sebagai landasan untuk muncul. Tanpa mengakui dan menghormati nilai keterbiasaan, kita menciptakan sistem yang secara inheren tidak koheren dan pada akhirnya merusak kesejahteraan manusia. Menerima keterbiasaan bukan berarti menyerah pada mediokritas, melainkan mengakui realitas matematis dan psikologis bahwa tidak semua orang bisa atau harus luar biasa dalam segala hal.
Daftar Pustaka
- Kožnjak, Boris. "The Übermensch of Excellence? In Defense of Ordinariness." Blog of the APA, 2 Desember 2025. https://blog.apaonline.org/2025/12/02/the-ubermensch-of-excellence-in-defense-of-ordinariness/
- "Snooker: Stuart Bingham's 'beautiful ordinariness' made him a World Championship hit." Echo News, 4 Mei 2015. https://www.echo-news.co.uk/sport/12930422.snooker-stuart-binghams-beautiful-ordinariness-made-him-a-world-championship-hit/
- "Find meaning within the ordinariness of everyday life." Times of Malta, 9 Desember 2023. https://timesofmalta.com/article/find-meaning-ordinariness-everyday-life.1072185
- "The beauty of ordinariness." Oregon Live, 15 Juli 2009. https://www.oregonlive.com/opinion/2009/07/the_beauty_of_ordinariness.html

