{!-- ra:00000000000003ec0000000000000000 --}Masa Depan 🌈 DEI: Debat Keberagaman di Institusi Amerika - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Masa Depan 🌈 DEI: Debat Keberagaman di Institusi Amerika
14
October 2025

Masa Depan 🌈 DEI: Debat Keberagaman di Institusi Amerika

  • 2
  • 14 October 2025
Masa Depan 🌈 DEI: Debat Keberagaman di Institusi Amerika

Program Diversity, Equity, and Inclusion (Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi) atau DEI menghadapi tantangan besar di Amerika Serikat. Konsep yang sebenarnya tidak pernah muncul dalam dokumen-dokumen historis pemerintah ini kini menjadi pusat perdebatan. Presiden Roosevelt tahun 1941 melarang diskriminasi di industri pertahanan lewat Perintah Eksekutif 88021. Tapi kata "diversity" tidak ada di sana.

Asal-Usul yang Tidak Disengaja

DEI lahir dari kekacauan keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Bakke. Hakim Lewis Powell—tanpa dukungan hakim lain—menyatakan bahwa "mencapai keberagaman tubuh mahasiswa" adalah kepentingan negara yang memaksa1. Dua puluh lima tahun kemudian, komentar sekilas ini menjadi satu-satunya dasar konstitusional untuk affirmative action (tindakan afirmatif) dalam kasus Grutter.

Justifikasi Powell? Tidak ada. Hakim Sandra Day O'Connor yang akhirnya mengusulkan bahwa keberagaman mahasiswa diperlukan "untuk mengembangkan sekelompok pemimpin dengan legitimasi di mata warga"1. Ini hipotesis kausal yang menarik. Namun kritikus sering menunjuk justifikasi lain: manfaat bagi mahasiswa kulit putih yang belajar berinteraksi dengan rekan nonkulit putih di tempat kerja yang beragam.

Lebih dari Sekadar Penerimaan

DEI bukan hanya soal penerimaan dan perekrutan. Ketika ditambah dengan "equity and inclusion"—atau bahkan "belonging" (rasa memiliki) dan "justice" (keadilan)—DEI meminta institusi untuk terus-menerus mengevaluasi diri. Proses, orang, perilaku mereka1. Apakah semua ini benar-benar memberi semua orang kesempatan sama untuk berkembang?

Tapi inilah masalahnya. Karena DEI harus tertanam dalam institusi dan melibatkan penyesuaian detail proses serta budaya, ia menghadapi dua hambatan kuat. Pertama: siapa yang melakukan pekerjaan ini? Teori interest convergence (konvergensi kepentingan) dari sarjana hukum Derek Bell memperingatkan bahwa "pekerjaan keberagaman" cenderung dilakukan oleh mereka yang tidak mengancam kekuasaan pria kulit putih, atau oleh mereka yang menarik shift (giliran) kedua tanpa bayaran dan melelahkan1. Janji menjadi pemangsa karier.

Tantangan Penegakan

Hambatan kedua adalah penegakan. Sulit menegakkan aturan kesetaraan dalam perekrutan ketika banyak hal tak berwujud dalam keputusan tersebut. Tapi bagaimana Anda menegakkan realisasi dan pemeliharaan budaya rasa memiliki? Banyak yang bisa salah sebelum mencapai "lingkungan kerja yang bermusuhan" yang dapat dituntut secara hukum1.

Hasilnya? Sebagian besar implementasi DEI menjadi pada dasarnya sukarela. Dan sejauh organisasi menerapkannya dengan serius, banyak implementasi akan dialami sebagai epicycles (lingkaran tambahan) yang dipaksakan manajemen pada proses familiar: pekerjaan mencentang kotak. Penegakan akan sangat tidak memadai, tapi akan terasa memberatkan—dan karenanya menghasilkan kebencian—di antara mereka yang paling membutuhkannya1.

Kebangkitan Gerakan Reaksi

Fakta terakhir inilah yang telah menghancurkan "DEI". Dengan kebangkitan gerakan politik yang dibangun atas reaksi balik (backlash), DEI harus pergi. Karena beberapa orang membenci bahkan langkah terbatas menuju budaya rasa memiliki di tempat kerja dan sekolah1. Meskipun "diversity" tidak pernah tepat sebagai target—dan bagaimanapun juga memiliki asal-usul dalam pembatalan affirmative action—serangan terhadap keberagaman bukanlah upaya untuk menyempurnakannya.

Inisiatif DEI menghadapi pengawasan ketat di berbagai negara. Di AS, perusahaan farmasi yang awalnya mengintegrasikan DEI dalam strategi korporat kini menghadapi risiko pembongkaran inisiatif tersebut2. Bahkan NBC News mengurangi 150 staf, termasuk tim keberagaman untuk komunitas Hitam, Latino, Asia-Amerika, dan LGBTQ+3.

Apa yang Bisa Diselamatkan?

Apa yang bisa diselamatkan dalam lingkungan politik ini? Apa yang seharusnya diselamatkan? Apa yang bisa kita pelajari dari hambatan yang dihadapi DEI sehingga kita dapat hidup sesuai nilai-nilai yang hanya sebagian ditunjuk oleh program DEI? Apakah nilai-nilai ini punya masa depan1?

Pertanyaan-pertanyaan ini menggerakkan webinar APA Live pada Global Ethics Day, 15 Oktober, menampilkan Linda Martín Alcoff (Hunter College CUNY), Luvell Anderson (University of Illinois-Urbana Champaign), dan Noell Birondo (University of Texas at El Paso)1. Acara gratis dan terbuka untuk publik.

Kesimpulan

DEI lahir dari keputusan pengadilan yang tidak disengaja, bukan dari visi filosofis yang jelas. Konsep ini berkembang menjadi industri yang menghadapi tantangan struktural—dari beban kerja yang tidak merata hingga kesulitan penegakan. Serangan politik saat ini terhadap DEI bukan upaya perbaikan, melainkan reaksi terhadap perubahan budaya. Namun pertanyaan tentang kesetaraan dan inklusi tetap relevan dan membutuhkan pendekatan baru yang lebih efektif.

Daftar Pustaka

  • Kolers, A. (2025, Oktober 14). W(h)ither Diversity, Equity, and Inclusion? Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/14/whither-diversity-equity-and-inclusion/
  • Applied Clinical Trials. (2025, Oktober 14). Are Clinical Trial Diversity Initiatives at Risk of Being Dismantled? https://www.appliedclinicaltrialsonline.com/view/are-clinical-trial-diversity-initiatives-at-risk-of-being-dismantled-
  • MSN. (2025, Oktober 15). NBC News' 150 Layoffs Gut Black, Latino, Asian American and LGBTQ+ Diversity Teams. https://www.msn.com/en-us/tv/news/nbc-news-150-layoffs-guts-black-latino-asian-american-and-lgbtq-diversity-teams/ar-AA1OxhUl
Download PDF tentang Transformasi Keberagaman: Gene (telah di download 10 kali)
  • Masa Depan 🌈 DEI: Debat Keberagaman di Institusi Amerika
    Penelitian ini mengeksplorasi evolusi konsep Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) dari akar yudisialnya yang tidak disengaja hingga tantangan implementasi struktural dalam institusi modern. Melalui analisis genealogis terhadap keputusan Mahkamah Agung AS dan teori konvergensi kepentingan, studi ini mengungkap kontradiksi fundamental antara aspirasi kesetaraan dengan realitas politik organisasional, sambil meneliti dampak reaksi politik kontemporer terhadap masa depan inisiatif keberagaman.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.