Siapa yang Diabaikan dalam Ruang Pengetahuan?
Sevil Suleymani, seorang akademisi perempuan Turk Azerbaijan dari Iran, menghadapi tantangan ganda dalam dunia akademis. Dia bukan hanya menghadapi bias gender (jenis kelamin) seperti banyak perempuan lainnya1. Ada lapisan tambahan: identitas etnorasialnya sebagai minoritas Turk Azerbaijan yang sering diabaikan atau bahkan ditolak keberadaannya. "Saya sering menemui kebingungan sopan, sikap defensif halus, atau sindiran tersembunyi," tulisnya tentang respons yang diterimanya1.
Iran adalah negara multi-etnis paling beragam di Timur Tengah. Lebih dari 50% populasinya bukan orang Persia1. Namun realitas ini jarang diakui dalam wacana akademis, baik di Barat maupun dalam narasi dominan Iran sendiri. Turk Azerbaijan, yang mencakup hampir 25% populasi Iran, tetap terpinggirkan secara politik dan epistemik1.
Ketika Suara Dinilai Kurang Kredibel
Miranda Fricker memperkenalkan konsep epistemic injustice (ketidakadilan epistemik) untuk menjelaskan bagaimana seseorang dirugikan dalam kapasitasnya sebagai penghasil pengetahuan1. Ada dua bentuk utama. Pertama, testimonial injustice (ketidakadilan kesaksian) terjadi ketika pembicara diberi kredibilitas lebih rendah karena identitas sosialnya—ras, gender, atau etnisitas1.
Suleymani mengalami ini secara langsung. Kontribusi ilmiahnya sering mengalami defisit kredibilitas bukan karena kualitas atau keketatannya, tetapi karena identitas sosialnya sebagai perempuan Turk Azerbaijan yang mengkritik hegemoni Persia1. "Identitas ini tidak selaras dengan ekspektasi akademis dominan atau asumsi otoritas," jelasnya1.
Ketika Bahasa untuk Menjelaskan Pengalaman Tidak Tersedia
Bentuk kedua adalah hermeneutical injustice (ketidakadilan hermeneutis). Ini muncul ketika ada kesenjangan dalam sumber daya konseptual bersama yang diperlukan untuk memahami pengalaman seseorang1. Kerangka akademis dominan sering kekurangan bahasa, teori, atau alat epistemik untuk memahami pengalaman komunitas marginal seperti Turk Azerbaijan1.
Namun, Kristie Dotson dan Gaile Pohlhaus berpendapat bahwa komunitas marginal sebenarnya memiliki sumber daya hermeneutis untuk memahami penindasan mereka sendiri1. Masalahnya? Sumber daya ini secara sistematis diabaikan atau ditolak oleh pihak yang dominan. Dotson menyebutnya contributory injustice (ketidakadilan kontributif)—ketika agen epistemik dominan menolak mengintegrasikan sumber daya yang dikembangkan komunitas marginal ke dalam kumpulan pengetahuan bersama1.
Persimpangan Eksklusi: Akademia Iran dan Barat
Suleymani terjebak di persimpangan dua sistem eksklusi. Di Iran, dia dibungkam karena latar belakang etnorasialnya1. Di institusi Barat yang mengklaim mendukung keberagaman, dia tetap terpinggirkan oleh hierarki epistemik yang mendalam. "Akademia AS mengklaim meminta akademisi perempuan of Color (berwarna) berbicara tentang 'pengalaman mereka' dan 'komunitas mereka,' tetapi hanya dalam kerangka yang dianggap valid," katanya1.
Kerangka-kerangka ini jarang terlibat dengan epistemologi regional atau perjuangan internal yang dihadapi, seperti perlawanan terhadap homogenisasi budaya dan Persianisasi di Iran1. Produksi pengetahuan tentang Iran di humaniora dan ilmu sosial terutama dibentuk oleh narasi romantis Persia kuno atau topik modern seperti Revolusi Iran 19791. Perjuangan yang berada di luar narasi ini diabaikan atau dianggap periferal.
Dominasi Akademisi Asal Persia dan Bias Sistemik
Memperburuk penghapusan ini adalah dominasi akademisi Iran asal Persia di akademia AS. Banyak dari mereka menyangkal, menolak, atau merasionalisasi marginalisasi dan pengalaman hidup marginalisasi etnorasial di negara tersebut1. Ketika Suleymani mengirimkan karyanya ke jurnal akademis Barat, tulisannya sering ditinjau oleh akademisi Persia yang tertanam dalam struktur epistemik yang sama yang dia kritik1.
Pada saat yang sama, karya itu dievaluasi oleh akademisi Barat yang, meskipun kritis, tetap terikat pada tradisi filosofis yang meromantisasi Persia kuno melalui lensa Hegelian atau Yunani-Romawi1. "Ini mirip dengan meminta feminis kulit putih selama era hak sipil mengevaluasi tulisan perempuan kulit hitam—latihan dalam misrekoginisi," analognya tajam1.
Ketidaktahuan Hermeneutis yang Disengaja
Bentuk eksklusi ini berbeda dari ketidakadilan hermeneutis standar Fricker. Ini bukan tentang ketiadaan alat konseptual. Ini adalah penolakan aktif untuk menggunakan alat-alat yang ada1. Ketika Suleymani mempresentasikan penelitian tentang marginalisasi linguistik perempuan Azerbaijan, akademisi Persia tidak kekurangan alat konseptual untuk memahami diskriminasi berbasis bahasa—konstitusi Iran sendiri mengakui keberagaman linguistik1.
Sebaliknya, mereka secara aktif memilih untuk membingkai ulang analisisnya sebagai "memecah belah" atau "anti-persatuan nasional," menggunakan konsep seperti kohesi nasional dan modernisasi untuk mendelegitimasi kerangka epistemologisnya1. Sementara itu di akademia Barat, pengalaman hidup dan konseptualisasi mereka ditolak sebagai terlalu "lokal" atau tidak cukup teoretis1.
Kolonialitas Domestik dan Perjuangan Dekolonial
Reviewer pernah menyarankan Suleymani untuk "fokus pada aspek universal" pengalaman perempuan di Iran, dengan alasan bahwa menekankan etnisitas "mungkin mengasingkan pembaca"1. Tetapi komplikasi justru adalah argumennya. Kolonialitas domestik adalah kunci untuk memahami bagaimana kekuasaan terkonsolidasi dalam negara pasca-kolonial1.
Kelompok dominan memaksakan budaya dan pandangan dunia mereka pada populasi yang ditundukkan. Kerja dekolonial harus menantang imperialisme Barat dan hierarki domestik dalam negara1. Perlawanan terhadap analisis ini, terutama dari akademisi Persia di diaspora, mengungkapkan bagaimana kekuasaan terkonsolidasi melalui bahasa, etnisitas, dan kelas bahkan dalam komunitas marginal1.
Persistensi di Tengah Penghapusan
Meskipun menghadapi penghapusan berlapis ini, perempuan marginal seperti Suleymani terus bertahan. "Kami berteori dalam bahasa yang ditindas, membangun arsip epistemik yang berakar pada perlawanan, dan menuntut pengakuan," tulisnya dengan penuh semangat1. Praksis dekolonial mereka mengekspos bagaimana pembebasan memerlukan pembongkaran dominasi imperial eksternal dan hierarki etnis internal.
Karya ilmiah mereka mendorong melawan batas-batas nasional, disipliner, dan konseptual. Mereka bersikeras bahwa perjuangan lokal melawan penghapusan memiliki signifikansi global1. Berbicara sebagai perempuan Turk Azerbaijan dalam akademia berarti menanggung beban ganda: ketidakhadiran dan hipervisibilitas—selalu menjelaskan sejarah seseorang, membenarkan penderitaan komunitas, dan menerjemahkan kebenaran ke dalam istilah yang dapat dipahami oleh paradigma dominan1.
Harga tidak diakui adalah erosi hak untuk berteori dan didengar dengan cara sendiri1. Namun, perempuan Azerbaijan terus berkontribusi dalam berbagai bidang—dari teknologi informasi hingga olahraga2. Prestasi mereka menunjukkan bahwa meskipun menghadapi hambatan epistemik, mereka terus menulis ulang narasi tentang kemampuan dan kontribusi mereka.
Kesimpulan
Pengalaman Sevil Suleymani menyoroti ketidakadilan epistemik yang dihadapi perempuan dari komunitas etnorasial marginal dalam akademia. Ketidakadilan ini beroperasi pada tingkat testimonial, hermeneutis, dan kontributif—membentuk sistem eksklusi berlapis yang membungkam suara-suara penting. Untuk menciptakan ruang akademis yang benar-benar inklusif, diperlukan pengakuan bukan hanya terhadap keberagaman identitas, tetapi juga terhadap keberagaman epistemologi dan cara mengetahui. Perjuangan perempuan Turk Azerbaijan adalah pengingat bahwa dekolonisasi pengetahuan harus dimulai dari dalam—dengan mengakui dan menghargai suara-suara yang selama ini diabaikan.
Daftar Pustaka
- Suleymani, S. (2025, Oktober 15). The Price of Being Unrecognized: Epistemic Exclusion and the Burden of Speaking as an Azerbaijani Turk Woman in Academia. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/10/15/the-price-of-being-unrecognized-epistemic-exclusion-and-the-burden-of-speaking-as-an-azerbaijani-turk-woman-in-academia/
- Trend. (2017, Januari 27). Azerbaijani most innovative women awarded. https://www.trend.az/azerbaijan/society/2714283.html



