{!-- ra:00000000000003ec0000000000000000 --}Editor Jurnal 📝 Ethics Luncurkan Pedoman Awal Penggunaan AI untuk Penulis Akademik - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Editor Jurnal 📝 Ethics Luncurkan Pedoman Awal Penggunaan AI untuk Penulis Akademik
29
September 2025

Editor Jurnal 📝 Ethics Luncurkan Pedoman Awal Penggunaan AI untuk Penulis Akademik

  • 3
  • 29 September 2025
Editor Jurnal 📝 Ethics Luncurkan Pedoman Awal Penggunaan AI untuk Penulis Akademik

Douglas Portmore dari University of Notre Dame, selaku editor-in-chief (pemimpin redaksi) jurnal Ethics, baru saja mengumumkan pedoman awal terkait penggunaan Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan/AI) dalam naskah yang dikirimkan ke jurnal tersebut1. Keputusan ini muncul di tengah meningkatnya penggunaan AI di dunia akademik, khususnya dalam proses penulisan.

Portmore menegaskan bahwa pandangan yang ia sampaikan masih merupakan opini pribadinya. Belum tentu mencerminkan pandangan seluruh editor asosiasi. Namun ia berharap kebijakan resmi akan dipublikasikan di situs web jurnal pada awal tahun depan1.

AI Tidak Bisa Jadi Penulis atau Ko-Penulis

Pedoman pertama yang disampaikan sangat tegas. AI tools (perangkat AI) tidak dapat menjadi penulis atau bahkan coauthor (rekan penulis) dalam sebuah naskah. Kenapa? Karena penulis harus mampu memikul tanggung jawab moral dan hukum atas karya mereka1.

Sebagai entitas non-moral, AI tidak bisa bertanggung jawab atas akurasi dan orisinalitas produknya. Penulis harus bertanggung jawab penuh terhadap pernyataan yang dibuat, argumen yang diajukan, dan sumber yang mereka akui atau gagal mereka akui. AI juga bukan entitas hukum—tidak bisa membuat deklarasi legal atau menandatangani perjanjian copyright (hak cipta)1. Di berbagai institusi pendidikan, kebijakan serupa mulai bermunculan meski dengan panduan kampus yang masih terbatas2.

Transparansi Wajib dalam Penggunaan AI

Pedoman kedua menekankan transparansi total. Jika penulis menggunakan AI, mereka wajib mengungkapkan perangkat apa yang digunakan dan bagaimana cara penggunaannya1. Misalnya, jika AI dipakai untuk menghasilkan bantahan terhadap pandangan penulis, maka perangkat AI tersebut harus dikutip dengan jelas.

Intinya: jangan mengambil kredit untuk pekerjaan yang bukan milik sendiri. Teks yang dihasilkan AI harus muncul dalam tanda kutip, sama seperti kalau meminjam dari karya orang lain. Bahkan jika AI hanya digunakan untuk mengedit tulisan, penulis tetap harus transparan1. Di sektor lain seperti fintech (teknologi finansial), otoritas juga mulai mengeluarkan pedoman etis serupa untuk penggunaan AI3.

Contoh Format Pengakuan AI

Portmore menyarankan format seperti ini dalam bagian acknowledgments (pengakuan): "Teks artikel ini telah diedit untuk kejelasan oleh ChatGPT, OpenAI, 16 April 2025, https://chat.openai.com/chat"1. Kutipan harus mengikuti panduan dari The Chicago Manual of Style karena Ethics diterbitkan oleh University of Chicago Press.

Lacak Sumber Asli, Bukan Hanya Sebutkan AI

Pedoman ketiga agak rumit tapi penting. Tidak cukup hanya mengutip AI sebagai sumber sebuah objeksi atau argumen. Kenapa? Karena AI bukanlah sumber asli—melainkan hasil pelatihan dari karya-karya penulis lain1.

Mengaitkan suatu objeksi ke ChatGPT sama problematisnya dengan mengaitkan objeksi ke kolega yang hanya menceritakan tentang objeksi dari Rawls, misalnya. Idealnya, penulis harus melacak sumber asli dari objeksi tersebut dan mengutipnya, sambil mengakui bantuan ChatGPT dalam membawa perhatian mereka ke sana1. Ini sejalan dengan prinsip bahwa AI dapat membantu tapi bukan pengganti riset mendalam.

Editor dan Reviewer Dilarang Pakai AI

Pedoman keempat untuk editor dan reviewer (penilai): mereka tidak boleh menggunakan AI untuk menghasilkan laporan atau penilaian terhadap naskah1. Melakukan hal itu akan melanggar hak penulis dan tanggung jawab profesional mereka sendiri.

Masalahnya, file yang diunggah ke AI seperti ChatGPT disimpan tanpa batas waktu dan digunakan untuk melatih model mereka. Jadi mengunggah naskah yang dikirimkan ke AI melanggar kerahasiaan proses peer review (tinjauan sejawat). Selain itu, editor dan reviewer punya tanggung jawab profesional untuk memberikan penilaian independen mereka sendiri1. Di ruang sidang pun, pedoman serupa mulai diterapkan untuk menjaga integritas proses hukum4.

Konteks Lebih Luas: AI di Berbagai Sektor

Pedoman ini muncul ketika berbagai institusi masih bergulat dengan kebijakan AI. Di kampus-kampus, dosen mengambil pendekatan beragam karena panduan tingkat kampus yang terbatas2. Beberapa universitas seperti DePauw sudah menerbitkan panduan penggunaan AI yang komprehensif5.

Di dunia pemasaran dan media, diskusi tentang pengungkapan penggunaan AI juga sedang hangat. Hukum negara bagian AS dan aturan platform mengharuskan pengiklan untuk mengungkapkan penggunaan AI dalam konten mereka6. Sementara itu, ada juga perdebatan tentang platform mana yang mengizinkan atau melarang penggunaan AI dalam penulisan7.

Kesimpulan

Pedoman yang diajukan Portmore mencerminkan kebutuhan mendesak akan klarifikasi di era AI. Prinsip utamanya sederhana: AI adalah alat, bukan penulis. Transparansi adalah kunci. Tanggung jawab tetap pada manusia. Dan integritas akademik tidak boleh dikorbankan demi kemudahan teknologi.

Meski masih bersifat "pedoman awal", langkah ini menunjukkan jurnal Ethics serius dalam menjaga standar akademik di tengah revolusi AI. Komunitas akademik global tampaknya menunggu perkembangan kebijakan resmi yang dijanjikan akan muncul awal tahun depan. Perdebatan tentang penggunaan etis AI dalam dunia akademik baru saja dimulai8.

Daftar Pustaka

Download PDF tentang Transformasi Integritas Akadem (telah di download 22 kali)
  • Editor Jurnal 📝 Ethics Luncurkan Pedoman Awal Penggunaan AI untuk Penulis Akademik
    Artikel ini mengeksplorasi pedoman etis komprehensif untuk penggunaan Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan/AI) dalam penulisan akademik, khususnya dalam konteks publikasi jurnal etika. Dengan menganalisis empat prinsip fundamental yang diajukan oleh pemimpin redaksi jurnal Ethics, penelitian ini menelaah implikasi tanggung jawab moral, transparansi intelektual, atribusi sumber yang akurat, dan integritas proses peer review (tinjauan sejawat) di tengah revolusi teknologi AI yang semakin masif dalam dunia akademik global.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.