{!-- ra:00000000000003ec0000000000000000 --}Revolusi Penilaian 📊 Esai: Dosen Filosofi Nilai Prompt ChatGPT Mahasiswa untuk Ukur Kemampuan Berpikir Kritis - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Revolusi Penilaian 📊 Esai: Dosen Filosofi Nilai Prompt ChatGPT Mahasiswa untuk Ukur Kemampuan Berpikir Kritis
30
September 2025

Revolusi Penilaian 📊 Esai: Dosen Filosofi Nilai Prompt ChatGPT Mahasiswa untuk Ukur Kemampuan Berpikir Kritis

  • 4
  • 30 September 2025

Carlos Zednik mengatakan tegas: "Ya, kita masih bisa mengandalkan tugas menulis di rumah untuk menilai pembelajaran mahasiswa."1 Pernyataan asisten profesor filosofi dari Eindhoven University of Technology ini mengejutkan banyak kalangan akademisi. Di era AI yang meresahkan, dia justru membuka pintu lebar untuk mahasiswa menggunakan ChatGPT—bahkan menjadikannya bagian dari sistem penilaian.

Sejak November 2022, kemunculan ChatGPT membuat instruktur universitas khawatir. Terutama di disiplin seperti filosofi yang bergantung pada esai sebagai alat ukur pembelajaran.2 Tapi Zednik memilih jalan berbeda.

Apa yang Dinilai: Dari Produk ke Proses

Selama dua tahun lebih, Zednik mengizinkan penggunaan AI tanpa batasan di kelasnya. Filosofi tingkat Bachelor (Sarjana) dan Master (Magister). Hasilnya? Dia merasa memberikan persiapan unik untuk kehidupan masa depan mahasiswa di dunia yang dibantu AI.1

Yang dinilai bukan lagi esai final. Melainkan prompts (perintah) yang digunakan mahasiswa untuk berinteraksi dengan ChatGPT.3 "Prompt engineering bukan sekadar keterampilan teknis," jelasnya. Butuh pengetahuan domain spesifik untuk mendefinisikan konteks dengan presisi.

Bagaimana Mahasiswa Menggunakan AI

Ratusan mahasiswa di Eindhoven menunjukkan pola menarik. Mereka menggunakan AI untuk riset ide, merangkum slide kuliah, membaca artikel berita.1 Ada yang meminta ChatGPT brainstorming solusi masalah moral. Mencari kontra-argumen untuk klaim filosofis tertentu.

Mahasiswa juga memasukkan konsep teknis dari kuliah atau bacaan, meminta AI mendefinisikan atau mengaplikasikannya. Mereka mungkin minta sistem menganalisis studi kasus dari perspektif teori etika tertentu—atau menerapkan kerangka kerja dari filsuf spesifik.4 Lalu, setelah semua itu, mereka prompt sistem untuk menghasilkan kalimat lengkap, paragraf, atau bagian untuk di-copy-paste, direview, ditweak, dan disubmit.

Siapa yang Terlibat dan Mengapa Ini Penting

Carlos Zednik adalah direktur Eindhoven Center for Philosophy of AI.1 Pengamatannya terhadap penulisan filosofis berbantuan AI melibatkan ratusan mahasiswa. Dia mengembangkan versi prompt-grading (penilaian prompt) sebagai metode asesmen—dan mengumpulkan bukti bahwa nilai prompt cukup valid sebagai ukuran pengetahuan filosofis dan kemampuan argumentatif.

Kenapa ini penting? AI seperti ChatGPT kini bisa menghasilkan esai berkualitas tinggi. Model "reasoning" (penalaran) terbaru dari OpenAI dan DeepSeek bahkan memvisualisasikan proses internal mereka dalam mode "chain of thought" (rantai pemikiran).5 Pola argumentasi, analisis, dan integrasi pengetahuan mereka menyaingi mahasiswa doktoral lanjutan—bahkan filsuf profesional.

Domain-Expert vs Novice dalam Prompting

Seniman AI berpengaruh seperti Refik Anadol menggunakan generator gambar canggih untuk menghasilkan karya seni yang menarik.1 Tapi mereka melakukannya lewat proses iteratif: prompting, memilih, memotong, mengedit, re-prompting yang butuh banyak pengalaman dan kepekaan estetika. Sama dengan vibe-coders (pembuat kode berbasis AI) yang biarkan AI urus sintaks program sementara mereka fokus pada spesifikasi tugas, supervisi logika, dan semantik program.

Intinya bukan bahwa AI tidak bisa di-prompt untuk hasilkan seni atau kode dengan usaha minim. Tapi dengan level penguasaan prompt-engineering yang sama, domain-expert akan hasilkan produk final lebih baik daripada pemula.6 Alasannya: expert lebih mampu mendefinisikan dan mempersempit konteks dalam prompt yang digunakan untuk hasilkan konten.

Kapan dan Di Mana Metode Ini Diterapkan

Sejak lebih dari dua tahun lalu, Zednik sudah menerapkan ini di kursus filosofi Eindhoven University of Technology.1 Penulisan filosofis berbantuan AI tidak berbeda dengan seni atau coding berbantuan AI. Mahasiswa yang tidak terinformasi mungkin bisa hasilkan tulisan filosofis yang lumayan cuma dengan jago prompt-engineering. Tapi tulisan itu akan kalah dibanding yang dihasilkan mahasiswa yang mempersempit konteks dengan memasukkan pengetahuan filosofis relevan dan kemampuan argumentatif ke dalam prompt mereka.

Contoh prompt mahasiswa Master di kursus "Philosophy and Ethics of AI" tahun 2024-2025 menunjukkan hal ini.1 Untuk menulis esai argumentatif tentang apakah manipulasi simbol berbasis aturan cukup untuk intelligence (kecerdasan), mahasiswa memasukkan pengetahuan filosofis dan kemampuan argumentatif ke dalam prompt ChatGPT. Pengetahuan dan kemampuan ini mempersempit konteks untuk respons AI—dan menjadi indikasi pembelajaran mahasiswa.

Bagaimana Efektivitas Metode Prompt-Grading

Hasil awal menjanjikan. Dilaporkan dalam preprint terkini, mahasiswa yang demonstrasikan pengetahuan filosofis dan kemampuan argumentatif dalam prompt mereka menghasilkan tulisan filosofis lebih baik (nilai esai lebih tinggi) daripada teman-teman mereka yang tidak.1 Mereka juga hasilkan tulisan lebih baik daripada mahasiswa yang hanya atau terutama pakai prinsip prompt-engineering domain-general—dan lebih baik dari mahasiswa yang cuma pakai AI untuk perbaiki "surface features" linguistik seperti ejaan, grammar, pilihan kata, dan gaya.

Jadi, nilai prompt tampak cukup valid sebagai ukuran pengetahuan filosofis dan kemampuan argumentatif—setidaknya sejauh mereka melacak ukuran tradisional seperti nilai esai.7

Reliabilitas Antar-Penilai

Dosen yang berbeda menilai prompt dengan cara yang mirip. Awalnya, hanya Zednik yang cukup berani menyisir log interaksi ChatGPT sepanjang 100 halaman (proses yang kini ambil waktu sekitar 15 menit per mahasiswa, yang dia anggap acceptable—bisa diterima).1 Upaya penilai tambahan menghasilkan variabilitas antar-penilai yang cukup rendah. Konsistensi antar penilai dijaga dengan mendefinisikan rubrik penilaian prompt, menjelaskan kepada mahasiswa hal-hal apa yang akan dihargai selama proses penilaian prompt, dan menerapkan taksonomi prompt standar untuk bantu penilai mengklasifikasi dan mengevaluasi prompt sesuai relevansi dan kualitas mereka dalam konteks penulisan esai filosofis.

Implementasi dan Tantangan ke Depan

Bukti awal ini membuat Zednik merekomendasikan untuk serius mempertimbangkan bahwa pengetahuan filosofis dan kemampuan argumentatif mahasiswa bisa dinilai dengan mengevaluasi kualitas prompt yang mereka gunakan untuk menyelesaikan tugas menulis filosofis di rumah.1

Bentuk asesmen ini bisa diimplementasikan dengan mewajibkan mahasiswa submit log interaksi lengkap yang berisi semua prompt dan respons AI-generated, dan meminta dosen mengevaluasi log ini secara sistematis, menggunakan rubrik penilaian dan taksonomi prompt.8 Log interaksi mahasiswa bisa dinilai, dan nilai itu bisa dikombinasikan dengan nilai untuk esai atau laporan final untuk hasilkan ukuran gabungan dari proses menulis dan produk tertulis.

Keterbatasan yang Diakui

Zednik tidak percaya prompt-grading harus jadi satu-satunya ukuran pembelajaran mahasiswa. Kemampuan berkontribusi dalam diskusi kelas, atau menghasilkan tulisan filosofis tanpa bantuan eksternal, terus jadi ukuran efektif dari pengetahuan dan kemampuan relevan.1 Dia juga tidak percaya prompt-grading adalah ukuran sempurna. Khususnya, metode ini tidak sepenuhnya kebal dari kekhawatiran bahwa teknologi AI mungkin biarkan mahasiswa berpura-pura tahu hal yang tidak mereka ketahui.

Riset terkini tentang meta-prompting (melatih sistem AI untuk hasilkan prompt) menunjukkan bahwa mahasiswa yang cerdik mungkin pakai AI bukan cuma untuk hasilkan tulisan filosofis, tapi juga untuk hasilkan prompt yang digunakan untuk melakukannya.9 Meski begitu, Zednik optimis bahwa bahkan meta-prompting akan mendapat manfaat dari insersi pengetahuan dan kemampuan relevan yang pada prinsipnya bisa dievaluasi.

Kesimpulan

Laporan tentang kematian esai kuliah tampaknya sangat dibesar-besarkan. ChatGPT memang pose tantangan.1 Seperti biasa, tantangan datang dengan peluang. Dalam kasus ini, peluangnya adalah membiarkan mahasiswa secara aktif mengeksplorasi batas tool baru yang powerful ini, sambil mengajari mereka menggunakannya secara reflektif dan bertanggung jawab.

Pendekatan Zednik menunjukkan bahwa integrasi teknologi AI dalam pendidikan tidak harus diartikan sebagai ancaman. Dengan metode penilaian yang tepat—yang fokus pada proses berpikir, bukan hanya hasil akhir—institusi pendidikan bisa memanfaatkan AI sebagai alat pedagogi yang memperkaya pembelajaran.10 Esai filosofis masih bisa jadi tool pedagogis berharga jika ditugaskan dan dinilai oleh profesor yang memahami teknologi yang digunakan mahasiswa mereka.

Daftar Pustaka

Download PDF tentang Transformasi Asesmen Pembelaja (telah di download 26 kali)
  • Revolusi Penilaian 📊 Esai: Dosen Filosofi Nilai Prompt ChatGPT Mahasiswa untuk Ukur Kemampuan Berpikir Kritis
    Penelitian ini mengeksplorasi paradigma baru dalam penilaian akademik yang merespons integrasi generative AI (AI Generatif) dalam proses penulisan mahasiswa. Melalui observasi ratusan mahasiswa filosofi di Eindhoven University of Technology, studi ini mendemonstrasikan bahwa metode prompt-grading (penilaian prompt)—evaluasi sistematis terhadap perintah yang digunakan mahasiswa untuk berinteraksi dengan ChatGPT—dapat menjadi indikator valid untuk mengukur pengetahuan filosofis dan kemampuan argumentatif. Temuan awal menunjukkan korelasi signifikan antara kualitas prompt dengan kualitas esai final, memvalidasi bahwa proses penulisan berbantuan AI dapat mencerminkan kompetensi kognitif mahasiswa ketika konteks domain-spesifik diintegrasikan dalam prompting.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.