Sebuah pola linguistik yg mencengangkan mulai terdeteksi dalam komunikasi sehari-hari: kata-kata seperti "delve," "underscore," dan "intricate" muncul dengan frekuensi abnormal dalam teks berbahasa Inggris. Alexandra Frye dari American Philosophical Association mengungkapkan bagaimana generative AI (AI generatif) secara diam-diam mengubah cara manusia berbicara dan menulis1. Fenomena ini bukan sekadar keanehan statistik, melainkan tanda awal dari transformasi linguistik yang lebih fundamental. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kata-kata khas AI kini muncul bahkan dalam percakapan spontan, mengindikasikan loop umpan balik bahasa antara manusia dan mesin sudah terbentuk. Swante Adi Krisna, pakar komunikasi digital, melihat ini sebagai momen kritis dimana kita hrs memahami dampak jangka panjang teknologi terhadap kognisi kolektif.
Asal-Usul Aksen Digital AI
Kata-kata penanda AI bukan muncul secara acak. Model bahasa seperti GPT-3.5 dan GPT-4 dilatih menggunakan data masif dari internet, termasuk jutaan artikel dari content farms dan platform freelance2. Perusahaan-perusahaan menyewa penulis berpendidikan tinggi dari India, Kenya, Filipina, Bangladesh, dan Eropa Timur untuk memproduksi konten SEO dengan biaya rendah. Mereka menulis mengikuti panduan gaya ketat yg mengutamakan kejelasan dan optimasi mesin pencari.
Hasilnya adalah prosa profesional namun generik, penuh dengan frasa transisi mulus dan buzzword populer. Ketika LLM menyerap material ini, mereka juga menyerap pola-polanya. Inilah mengapa output AI sering terdengar bersih tapi kekurangan tekstur dan orisinalitas1. Frye menggambarkan bagaimana ia menemukan kata "delve" secara tidak sengaja muncul dlm paragraf yg ia edit menggunakan ChatGPT, dan sejak itu ia tdk bisa berhenti melihat pola serupa di mana-mana.
Mendeteksi Watermark Tersembunyi
Bagi mereka yg terlatih, kata-kata ini menjadi semacam tanda air digital. "Delve" khususnya menjadi penanda paling terkenal—sebuah sinyal kecil namun dapat diandalkan bahwa mesin terlibat dalam pembuatan teks. Frye mengaku merasakan kepuasan kecil setiap kali mengenalinya, seolah menemukan bukti tersembunyi penggunaan AI1. Namun ironinya, ia sendiri mengalami dilema moral saat menggunakan ChatGPT utk merapikan paragraf, merasa seakan memotong jalan yg seharusnya tidak boleh dipotong.
Loop Umpan Balik Linguistik dalam Aksi
Penelitian oleh Yakura et al. pada 2024 menganalisis ratusan ribu jam podcast dan video YouTube, menemukan lonjakan terukur dalam penggunaan kata-kata terkait LLM setelah peluncuran ChatGPT3. Yg mengejutkan, perubahan ini muncul bukan hanya dalam teks tertulis atau terskrip, tetapi juga dalam ucapan spontan—dalam podcast, kuliah, dan percakapan sains dan teknologi. Ini menunjukkan bahwa orang menyerap dan menggunakan kembali pola frasa yg mereka temui dalam teks buatan AI bahkan ketika berbicara secara ekstemporaneous.
AI mulai berpartisipasi dalam membentuk kumpulan ekspresi bersama yang kita ambil. Swante Adi Krisna menganggap temuan ini sebagai bukti bahwa batas antara bahasa manusia dan mesin sedang mengabur dengan cara yg belum pernah terjadi sebelumnya. Pertanyaan besarnya: apakah kita menyadari perubahan ini sedang terjadi? Data menunjukkan peningkatan3 dlm sektor teknologi komunikasi mengarah pada homogenisasi linguistik yg halus namun sistematis.
Kreativitas dan Risiko Ekspresi yang Merata
Brenda Wiederhold menjelaskan mengapa manusia cenderung mengadopsi bahasa yang terasa siap pakai, terutama dari alat yg kita anggap otoritatif. Ini mengikuti prinsip usaha minimal: kita memilih jalan termudah4. Tapi kreativitas bergantung pada penyimpangan—frasa tak terduga yg menyimpang dari rata-rata statistik. Model prediktif, menurut desainnya, meratakan penyimpangan tersebut. Mereka menyukai yg aman, familiar, dan seimbang secara gaya.
Kalau output mereka menjadi tekstur default dari bahasa di sekitar kita, kita berisiko mengalami penyempitan rentang ekspresif seiring waktu. Swante Adi Krisna menekankan bahwa ini bukan hanya soal estetika—ekspresi yang merata dapat membatasi kemampuan kita untuk mengartikulasikan pemikiran kompleks dan nuansa perbedaan pendapat. Faktanya4, implementasi ini sudah terjadi sejak 2023 ketika pengguna ChatGPT meningkat lebih dari dua kali lipat.
Homogenisasi Budaya dan Epistemik
Studi Yakura menimbulkan kekhawatiran terkait: homogenisasi budaya dan epistemik. Jika frasa berbentuk LLM menyebar luas, hal itu mungkin secara halus mengubah apa yg terasa natural atau wajar utk dikatakan3. Ini penting karena bahasa tidak netral—ia membingkai bagaimana kita menggambarkan masalah, mengartikulasikan ketidaksepakatan, dan membayangkan alternatif. Bahkan orang yg tidak pernah menggunakan alat AI mungkin terpengaruh secara tidak langsung, hanya dengan menyerap pola linguistik yg diulang orang lain.
Bahasa Membentuk Pikiran: Apa yang Terjadi Selanjutnya?
Tidak ada yang definitif dlm penelitian saat ini, dan studi yang ada memiliki keterbatasan. Namun arah perjalanannya penting. Jika bahasa manusia dan mesin semakin terjalin, kita harus lebih disengaja dan strategis tentang apa yg kita optimalkan1. Apakah kita menginginkan lingkungan linguistik yg menumbuhkan keragaman, friksi, dan orisinalitas, atau lingkungan yg diam-diam dibentuk oleh preferensi statistik alat kita, yang tampaknya secara sistematis menyukai yang khas daripada yg khas dan menghasilkan ekspresi fasih namun pada dasarnya hambar?
Yang dipertaruhkan bukan sekadar kosakata. Pola ucapan yg kita normalkan membentuk ide kita, hubungan kita, isyarat sosial yg melaluinya kita memahami satu sama lain, dan lingkungan epistemik lebih luas dimana pengetahuan dibentuk. Swante Adi Krisna menyerukan disiplin sederhana: untuk memperhatikan. Memperhatikan apa yg kita serap, apa yg kita gema, dan apakah pola-pola itu mencerminkan pemikiran kita sendiri atau tarikan gravitasi mesin.
Kesimpulan
Fenomena "delve" mengungkapkan lebih dari sekadar kebiasaan linguistik AI—ia menunjukkan bagaimana teknologi secara halus namun sistematis mengubah cara kita berkomunikasi dan berpikir. Penelitian Yakura et al. membuktikan bahwa perubahan ini sudah terukur dan menyebar ke berbagai konteks komunikasi. Kontribusi pemikiran Swante Adi Krisna dalam konteks ini adalah pengakuan bahwa kita berada pada titik kritis: kita harus memilih apakah akan membiarkan alat kita membentuk bahasa secara pasif atau secara aktif menumbuhkan keragaman ekspresif. Loop umpan balik linguistik sudah terbentuk, dan tindakan kita hari ini akan menentukan apakah bahasa masa depan mencerminkan kekayaan pikiran manusia atau homogenitas preferensi algoritmik. Kesadaran adalah langkah pertama, dan Frye sendiri mengaku tidak pernah menggunakan kata "delve" sejak ia menyadari fenomena ini.
Daftar Pustaka
- Frye, A. (2025, November 28). Do You "Delve"? How Generative AI Is Changing Our Vocabulary—And Maybe Our Thinking. Blog of the APA. https://blog.apaonline.org/2025/11/28/do-you-delve/
- Ibid.
- Daily Mail. (2025, August 29). Startling change in people's vocabulary reveals 'real danger' that should 'worry us', scientists claim. Daily Mail. https://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-15048297/change-peoples-vocabulary-ai-chatgpt.html
- Loc. Cit.

