Dalam era digital yang dipenuhi informasi, kemampuan membedakan berita palsu (fake news) dari berita asli menjadi keterampilan krusial. Michael LaBossiere mengembangkan pendekatan berbasis tiga atribut: intensi (niat), faktualitas, dan metodologi untuk membedakan keduanya.1 Pendekatan ini bukan definisi sempurna, tetapi sketsa praktis yang membantu masyarakat.
Intensi: Jantung Pembeda Pertama
Niat di balik pembuatan berita menentukan sifatnya. Seperti kebohongan yang memerlukan intensi jahat untuk menipu, berita palsu juga dibuat dengan tujuan spesifik.1 Beberapa bentuk "palsu" justru bersifat jinak. The Onion, Duffel Blog, dan Andy Borowitz menciptakan berita satir untuk menghibur—mereka dilindungi payung seni.1
Namun, operator berita palsu seperti yang menyebarkan cerita tentang Comet Ping Pong Pizza memiliki intensi berbeda. Ada yang mengklaim berniat mulia—membuat orang lebih kritis—tapi faktanya gagal total.1 Ini seperti pembelaan "cuma bercanda" saat tertangkap basah.
Motif Profit dan Ideologi
Berita palsu sering diciptakan untuk profit. Bedanya dengan agensi berita legitim? Yang asli tidak menipu demi uang.1 Pembuat berita palsu menggunakan penipuan sebagai alat mencari keuntungan finansial—ini patut dikecam.
Kelompok lain menciptakan berita palsu untuk tujuan ideologi atau politik. Mereka membenarkan tindakannya dengan logika utilitarian: manfaat kebohongan lebih besar dari bahayanya.1 Tapi kebohongan "mulia" dalam berita palsu jarang membidik kebaikan umum. Kebanyakan mendorong agenda spesifik yang merugikan mayoritas orang.
| Jenis Berita 📰 | Intensi Utama 🎯 | Metode Penipuan 🔍 | Dampak Sosial ⚠️ |
|---|---|---|---|
| Satir/Humor | Menghibur pembaca | Jelas fiktif | Jinak, edukatif |
| Berita Palsu Profit | Menghasilkan uang | Manipulasi emosi | Merusak kepercayaan |
| Berita Palsu Ideologi | Agenda politik | Propaganda terselubung | Polarisasi masyarakat |
| Berita Asli | Menyajikan kebenaran | Verifikasi fakta | Informasi akurat |
| Berita Satiris | Kritik sosial | Parodi jelas | Refleksi kritis |
| Misinformasi Tidak Sengaja | Berbagi informasi | Kesalahan manusiawi | Kebingungan publik |
| Disinformasi Terencana | Menyesatkan sengaja | Fabrikasi sistematis | Kerusakan reputasi |
Faktualitas: Objektif atau Subjektif?
Perbedaan penting: berita asli berupaya menawarkan fakta, berita palsu tidak.1 Fakta adalah klaim yang telah ditetapkan sebagai benar sampai derajat tertentu. Ini soal metodologi yang akan dibahas nanti.
Klaim faktual bersifat objektif—benar atau salah tanpa peduli bagaimana orang berpikir. Contoh: "alam semesta mengandung materi gelap" adalah klaim faktual.1 Bisa diverifikasi atau dibantah secara teoretis. Sebaliknya, klaim non-faktual tidak objektif dan tidak dapat dibuktikan.
Dilema Klaim Nilai
Bagaimana dengan ekspresi nilai (moral, politik, estetika) dalam berita? Meskipun banyak yang percaya penilaian nilai tidak objektif, ini masih diperdebatkan filsuf.1 Mengasumsikan klaim nilai bukan klaim faktual berarti begging the question (asumsi tanpa bukti). Begitu pula sebaliknya.
LaBossiere menawarkan panduan praktis: untuk klaim faktual non-nilai, ada metode mapan untuk mengujinya. Cara membedakan palsu dari asli? Pertimbangkan metodologi yang dipakai.1 Untuk klaim nilai seperti "mengurangi ukuran pemerintah adalah hal bermoral," tidak ada metode mapan menentukan kebenarannya. Klaim dan argumen pendukungnya bisa dikritik, tapi bukan berita per se—jadi bukan berita palsu.
Metodologi: Proses Menentukan Kualitas
Mengapa perbedaan berita palsu dan asli tidak sepenuhnya soal klaim palsu versus benar? Karena berita asli bisa salah, dan berita palsu bisa benar secara kebetulan.1 Reporter membuat kesalahan, sumber tidak selalu akurat. Kebetulan murni bisa membuat cerita palsu faktanya tepat—tapi tetap bukan berita asli.
Perbedaan krusial adalah metodologi. LaBossiere membuat analogi dengan sains: yang membedakan sains asli dari sains palsu bukan bahwa yang satu benar dan yang lain salah—tetapi soal metodologi.1
Ilustrasi Materi Gelap
Ambil perdebatan materi gelap dalam fisika. Jika ternyata materi gelap tidak ada, ini tidak menunjukkan ilmuwan melakukan sains palsu—hanya menunjukkan mereka salah.1 Sebaliknya, jika seseorang asal membuat teori paralel universe tanpa riset, mereka bukan melakukan sains asli meski kebetulan benar.
Analogi lain: matematika. Guru matematika selalu bilang bukan cuma soal jawaban benar, tapi cara mendapat jawaban yang benar.1 Makanya ada syarat "tunjukkan caramu bekerja." Orang bisa menebak jawaban dan benar—tapi mereka tidak mengerjakan matematika asli karena bahkan tidak melakukan matematika sama sekali.
Metode Berita Asli
Dengan asumsi analogi ini berlaku, berita asli adalah soal metodologi—metodologi yang mungkin gagal. Banyak metode berita asli mirip metode berpikir kritis dalam filsafat.1 Contohnya: penggunaan tepat argumen dari otoritas sebagai basis klaim. Contoh lain: metode menilai klaim tanpa dukungan terhadap observasi sendiri, informasi latar belakang, dan klaim kredibel lainnya.
Berita asli menggunakan metodologi ini dan buktinya hadir dalam berita: sumber teridentifikasi, data terverifikasi, dan sebagainya.1 Meskipun cerita berita palsu juga bisa memalsukan metodologi, ini adalah pembeda kunci. Berita berbasis metodologi tepat adalah berita asli—bahkan jika ada yang tidak setuju isinya.
Kesimpulan
Membedakan berita palsu dari asli memerlukan pemahaman tiga dimensi: intensi (apakah bertujuan menipu atau menghibur), faktualitas (apakah mengklaim objektif atau subjektif), dan metodologi (apakah menggunakan proses verifikasi mapan). Berita asli mungkin salah, tapi tetap mengikuti proses jurnalistik standar. Berita palsu bahkan jika kebetulan benar, tidak pernah mengikuti metodologi kredibel. Masyarakat perlu literasi media kuat untuk menavigasi lanskap informasi kompleks era digital.
Daftar Pustaka
- LaBossiere, M. (2025, 1 Desember). Fake News IV: Fake vs. Real. A Philosopher's Blog. https://aphilosopher.drmcl.com/2025/12/01/fake-news-iv-fake-vs-real/


