{!-- ra:00000000000003ea0000000000000000 --}Pemalsuan Humaniora: 🎓 Ancaman Tersembunyi bagi Pendidikan Tinggi - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Pemalsuan Humaniora: 🎓 Ancaman Tersembunyi bagi Pendidikan Tinggi
13
October 2025

Pemalsuan Humaniora: 🎓 Ancaman Tersembunyi bagi Pendidikan Tinggi

  • 2
  • 13 October 2025
Pemalsuan Humaniora: 🎓 Ancaman Tersembunyi bagi Pendidikan Tinggi

Dunia pendidikan tinggi saat ini menghadapi fenomena mengkhawatirkan yg jarang dibahas secara terbuka, yakni pemalsuan atau counterfeiting ilmu humaniora.1 Claire Katz, profesor filsafat di Texas A&M University, mengungkapkan pengalaman mengejutkan saat menghadiri konferensi tahunan tentang humaniora pd tahun 2023. Seorang manajer program dari dewan humaniora negara bagian bahkan tidak mengetahui kalau filsafat termasuk dalam disiplin humaniora. Kejadian ini bukan sekadar anekdot lucu, melainkan simtom dari masalah yg lebih mendalam dlm sistem pendidikan kita.

Ketidakpahaman Umum tentang Humaniora

Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai apa itu humaniora, fungsinya, dan nilai pentingnya telah menciptakan situasi paradoks. Di satu sisi, keterampilan yang dihasilkan dari pendidikan humaniora sangat dibutuhkan di dunia kerja—seperti berpikir kritis (critical thinking), pengambilan keputusan etis, dan apresiasi terhadap perspektif berbeda.2 Namun di sisi lain, pendidikan humaniora itu sendiri sering dipandang tidak bernilai atau bahkan tidak relevan. Ironi ini menciptakan celah bagi munculnya berbagai bentuk pemalsuan humaniora, baik dari dunia bisnis maupun dari dalam institusi pendidikan tinggi sendiri.

Pemalsuan dari Dunia Bisnis

Katz memberikan contoh kontras mengenai bagaimana dunia bisnis mengakui nilai humaniora. Pada tahun 1950-an, Bell Telephone menjalankan program yg patut dipuji untuk mengintegrasikan pendidikan humaniora bagi karyawannya.3 Sebaliknya, dalam 25 tahun terakhir, Kenneth dan Carol Adelman menyelenggarakan seminar kepemimpinan bertema Shakespeare yang dinilai "gimmicky" atau hanya trik pemasaran belaka. Program tersebut memperdagangkan prestise pendidikan humaniora dan peran tradisionalnya dalam mengkultivasikan pemimpin efektif, tapi tanpa memberikan substansi pendidikan humaniora yg sebenarnya.

Repackaging Pendidikan Liberal Arts

Menurut Katz, program-program semacam ini mengambil apa yg seharusnya menjadi bagian dari pendidikan liberal arts klasik yg bisa diperoleh mahasiswa di perguruan tinggi, lalu mengemasnya ulang sebagai program yg disederhanakan namun sangat mahal untuk mengembangkan pemimpin efektif.4 Ironinya, pendidikan kuliah di bidang humaniora yang efektif untuk melatih pemimpin kini dianggap tidak bernilai di universitas, dan telah digantikan oleh bisnis bernilai jutaan dolar yang menawarkan lokakarya pelatihan. Program-program ini bahkan tidak mencapai level untuk disebut sebagai pendidikan humaniora yg terdilusi, namun perusahaan membayar biaya besar utk mengirim eksekutif mereka ke sana.

Pemalsuan dari Dalam Institusi Pendidikan

Masalahnya bukan hanya pemalsuan humaniora oleh dunia bisnis saja. Ada masalah paralel di dalam institusi pendidikan tinggi itu sendiri, dgn berbagai bentuk program "humaniora lintas kurikulum" (humanities across the curriculum) yang berkembang selama 40 tahun terakhir.5 Fakultas dari disiplin non-humaniora mengintegrasikan keterampilan humaniora ke dalam kursus atau program kepemimpinan mereka tanpa memberikan kredit eksplisit kepada humaniora, sebagian karena mereka memang tdk tahu harus melakukan itu. Akibatnya, koneksi antara keterampilan-keterampilan ini dgn humaniora tempat asalnya menjadi terkubur.

Program "X Across the Curriculum"

Program "X lintas kurikulum" yang berkembang pesat pada dekade 1980-an dan 1990-an—termasuk Writing Across the Curriculum, Ethics Across the Curriculum, dan Critical Thinking Across the Curriculum—muncul dari pandangan bahwa pengajaran keterampilan tertentu tidak boleh dipikul oleh satu disiplin saja, tetapi harus dibagi di seluruh kampus.6 Para pendukung program "lintas disiplin" ini patut dihargai dalam dedikasi mereka untuk memperkenalkan keterampilan tersebut di seluruh universitas, percaya kalau akuisisi keterampilan ini akan diperkuat jika dipelajari dlm kursus lintas disiplin.

Sayangnya, berbagai masalah yang tak terduga muncul. Berpikir kritis tidak didefinisikan secara seragam, fakultas yg mengajar menulis dalam kursus mereka sendiri tidak percaya diri sebagai penulis, dan kursus etika yg spesifik-disiplin sempit fokusnya, selain tidak ada kesepakatan tentang bagaimana etika harus didefinisikan atau apa hasil yg diharapkan dari kursus tersebut.7 Selain itu, pendekatan "lintas disiplin" memunculkan persepsi bahwa seseorang tidak perlu memiliki keahlian ilmiah utk mengajar etika, misalnya.

Dampak terhadap Disiplin Filsafat

Berfokus pada disiplin filsafat, Katz menjelaskan bagaimana pendekatan ini memotong pengajaran berpikir kritis dari disiplin filsafat dan argumen filosofis, sehingga berpikir kritis dipandang sebagai keterampilan diskrit daripada sesuatu yg tertanam dalam pendidikan humaniora yg kuat.8 Dalam pendidikan humaniora yg sesungguhnya, mahasiswa akan terlibat dalam pembacaan cermat teks, memberikan bukti untuk interpretasi, mempertimbangkan perspektif alternatif, dan menganalisis argumen. Terputus dari filsafat (belum lagi retorika dan literatur), berpikir kritis yg dilakukan dlm disiplin lain tidak memiliki pengambilan perspektif, mendengarkan dengan hati-hati, dan pemikiran analitis.

Pendekatan Satu Dimensi

Pendekatan satu dimensi terhadap berpikir kritis ini, terutama di bidang seperti teknik, menjadi terfokus secara sempit pada pemecahan masalah daripada belajar merumuskan pertanyaan dan mengidentifikasi masalah.9 Diajarkan dengan cara ini, berpikir kritis tidak dikaitkan dgn humaniora atau peran yang dimainkan humaniora dalam kultivasi penilaian. Terpisah dari humaniora, berpikir kritis tidak bisa merealisasikan kekuatan penuhnya.

Kesimpulan

Singkatnya, "menyedot keterampilan yg terkait dengan pendidikan humaniora dan kemudian mengklaim pengembangan keterampilan tersebut sebagai bagian dari disiplin seseorang merugikan humaniora, disiplin lain, dan mahasiswa kita."10 Fenomena pemalsuan humaniora ini menciptakan lingkaran setan: pendidikan humaniora dianggap tidak berharga, sementara keterampilan yg dihasilkannya justru sangat dicari. Untuk memutus siklus ini, diperlukan kesadaran lebih luas tentang nilai intrinsik pendidikan humaniora dan bahaya dari upaya memisahkan keterampilan dari sumber pendidikannya. Hanya dgn memahami koneksi mendalam antara keterampilan dan pendidikan humaniora yg utuh, kita bisa memastikan mahasiswa mendapatkan pendidikan berkualitas yg mereka butuhkan untuk menghadapi tantangan kompleks di masa depan.

Referensi

  • Katz, C. (2025). Stolen Valor: How the Humanities '@ Work' Are Hidden in Plain Sight. Public Humanities. Diakses dari https://dailynous.com/2025/10/13/the-counterfeiting-of-the-humanities/
Download PDF tentang Krisis Identitas dan Pemalsuan (telah di download 12 kali)
  • Pemalsuan Humaniora: 🎓 Ancaman Tersembunyi bagi Pendidikan Tinggi
    Penelitian ini mengkaji fenomena pemalsuan humaniora (counterfeiting of the humanities) dalam konteks pendidikan tinggi modern, menganalisis bagaimana pemisahan keterampilan dari substansi pendidikan humaniora telah menciptakan krisis identitas disiplin ilmu ini. Melalui pendekatan kualitatif dan analisis kritis terhadap program "lintas kurikulum" serta komodifikasi pengetahuan humaniora oleh sektor bisnis, studi ini mengungkapkan dampak sistemik dari fragmentasi pendidikan liberal arts terhadap kualitas pembelajaran dan pemahaman publik tentang nilai intrinsik humaniora.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.