{!-- ra:00000000000003ec0000000000000000 --}Deadname 💬 dalam Filsafat Bahasa: Studi Semantik dan Etika Nama Transgender - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Deadname 💬 dalam Filsafat Bahasa: Studi Semantik dan Etika Nama Transgender
28
October 2025

Deadname 💬 dalam Filsafat Bahasa: Studi Semantik dan Etika Nama Transgender

  • 1
  • 28 October 2025
Deadname 💬 dalam Filsafat Bahasa: Studi Semantik dan Etika Nama Transgender

Deadname atau nama yang ditolak—istilah untuk nama lama seseorang yang telah melakukan transisi gender—kini menjadi topik menarik dalam filsafat bahasa. Elek Lane, filsuf dari Blog of the APA (American Philosophical Association), mengangkat fenomena ini sebagai jembatan antara teori semantik tradisional dengan realitas sosial kontemporer.1 Nama bukan sekadar label. Dalam tradisi filosofis, Gottlob Frege menggunakan "Hesperus" dan "Phosphorus" untuk menjelaskan perbedaan makna (sense) dan rujukan (reference).

Mengapa Deadname Penting secara Filosofis

Penelitian Lane mengidentifikasi paradoks menarik: ketika seseorang menyebut "Viola suka warna kuning," namun Viola kini bernama Cesario, respons yang muncul adalah "Itu tidak benar. Cesario yang suka kuning."1 Dialog ini menunjukkan deadname mungkin gagal merujuk secara semantik pada individu yang menolaknya. Berbeda dengan nama biasa yang referensinya stabil—seperti contoh klasik Saul Kripke dalam Naming and Necessitydeadname menciptakan zona abu-abu linguistik.

Aspek 🔍Teori Klasik 📚Fenomena Deadname 🏳️‍⚧️
Rujukan NamaStabil sepanjang waktu (Kripke)Dapat dibatalkan oleh pemilik nama
Fungsi KomunikatifMenyampaikan sikap pembicaraBerdampak bahkan tanpa sikap toksik
Status MetasemanticsDitentukan secara sosial-historisBergantung pada persetujuan individu
Perubahan IdentitasMisal: pernikahan, konversi agamaTransisi gender dengan penolakan aktif
Dampak PsikologisTidak dikaji secara tradisionalMenghasilkan respons stres fisio-psikologis
Dimensi EtisBukan fokus utama semantikSentral dalam teori deadname
Hubungan dengan TabuTidak relevan untuk nama umumMenciptakan tabu linguistik kuat

Filsafat bahasa tradisional memisahkan teori semantik dari kehidupan sehari-hari. Tapi deadname memaksa kita memikirkan ulang.2 Lane berpendapat bahwa studi tentang deadname menghubungkan kembali kedua domain ini—menunjukkan bagaimana struktur linguistik mempengaruhi pengalaman sosial secara langsung.

Dampak Psikologis yang Mengejutkan

Yang menarik: deadnaming (menyebut nama lama) tetap menyakitkan bahkan ketika dilakukan tanpa niat buruk. Seseorang yang salah menyebut karena kebiasaan atau ketidaktahuan bisa menghasilkan "tamparan psikologis" yang sama.1 Ini berbeda dari fungsi komunikatif bahasa pada umumnya—yang biasanya menyampaikan sikap mental pembicara. Deadname menyakitkan bukan karena apa yang dikomunikasikan, melainkan karena statusnya sebagai tabu linguistik yang dilanggar.

Pendekatan Teoretis: Semantik atau Pragmatik?

Lane menawarkan dua jalur penjelasan. Pertama, kita bisa mengembangkan semantik baru di mana deadname secara harfiah tidak merujuk pada orang yang menolaknya—seperti yang diusulkan Koles dalam penelitiannya.1 Kedua, kita bisa melihat perdebatan tentang deadname sebagai sengketa metalinguistik—bukan tentang kebenaran proposisi, tapi tentang cara mengekspresikannya.

Relevansi dengan Bahasa Bermuatan Gender

Penelitian tentang bahasa bermuatan gender dari Dembroff, Wodak, Kukla, dan Lance memberikan konteks penting.1 Mereka menunjukkan bagaimana elemen linguistik membawa beban sosial yang melampaui makna referensial sederhana. Deadname beroperasi serupa dengan slur (kata-kata kasar)—keduanya memiliki kekuatan untuk melukai yang berakar pada konvensi sosial, bukan sekadar pada makna deskriptif.

Filsafat bahasa menginterogasi hubungan rumit antara bahasa, makna, dan pikiran—mencakup filosofi analitik, linguistik, dan ilmu kognitif.3 Studi deadname menambahkan dimensi baru: bagaimana konvensi penamaan berinteraksi dengan identitas gender dan otonomi personal.

Implikasi Kebijakan dan Masa Depan Penelitian

Beberapa filsuf muda—terutama mahasiswa pascasarjana—mulai membuka area penelitian ini. Rose Fonth, Rebecca Sanaeikia, Anna Klieber, dan Emma Bolton telah mempresentasikan penelitian tentang deadnaming di berbagai konferensi.1 Bolton dan Klieber dalam artikel yang akan datang "Call Me By My Name!" menganalisis fenomena ini dari perspektif teori tindak tutur (speech act theory).

  • Konflik politik di Amerika Serikat terkait hak transgender untuk menggunakan nama pilihan mereka di berbagai konteks institusional telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, menciptakan kebutuhan mendesak akan kerangka teoretis yang kuat.1
  • Universitas New Mexico menghadapi tuntutan dari pekerja pascasarjana untuk menghentikan penggunaan deadname dalam sistem administrasi, menunjukkan relevansi praktis penelitian filosofis ini.4
  • Dinamika percakapan yang membingungkan muncul ketika seseorang menggunakan deadname—respons seperti "Itu bukan namanya lagi" menunjukkan gagalnya rujukan linguistik atau sengketa tentang norma ekspresi.1
  • Google menghadapi tekanan dari karyawannya untuk menggunakan nama pilihan pada lencana identitas dan menghapus deadname dari sistem internal, membuktikan pentingnya isu ini dalam konteks korporat.5
  • Penelitian Baker dan Green tentang hukum perubahan nama memberikan wawasan instruktif tentang aspek legal dari fenomena penamaan yang diabaikan dalam filsafat bahasa tradisional.1
  • IMDb kini mengizinkan aktor transgender menghapus deadname dari database mereka, mencerminkan pergeseran norma sosial tentang kontrol atas identitas digital.6
  • Dalam makalahnya "The Impact of Deadnaming," Lane berargumen bahwa deadname berdampak karena mereka menjadi subjek tabu yang dapat menciptakan keterikatan psikologis kuat.1

Kesimpulan

Lane berpendapat bahwa hampir semua aspek deadname sebagai topik filosofis masih terbuka untuk diperdebatkan.1 Penelitian baru tidak hanya memberikan pencerahan teoretis tetapi berpotensi mempengaruhi kebijakan dengan menginformasikan pedoman institusional, putusan pengadilan, dan legislasi. Nama penting: secara filosofis, personal, dan politis. Jika filsuf bahasa memiliki ambisi tidak hanya menganalisis komunikasi linguistik kita tetapi juga memengaruhinya, maka ini adalah topik yang layak mendapat perhatian serius.

Filsafat bahasa meneliti teori makna tradisional dan kontemporer serta koneksi antara bahasa, pemikiran, dan realitas.7Deadname menjadi studi kasus sempurna di mana ketiga elemen ini bertemu dengan cara yang menuntut pendekatan interdisipliner—menggabungkan semantik formal, etika sosial, dan psikologi bahasa.

Daftar Pustaka

  • Lane, Elek. "Deadnames and the Philosophy of Language." Blog of the APA, 28 Oktober 2025. https://blog.apaonline.org/2025/10/28/deadnames-and-the-philosophy-of-language/
  • "Philosophy of Language and Propositional Attitudes." Nature Research Intelligence, 15 Juli 2025. https://www.nature.com/research-intelligence/nri-topic-summaries/philosophy-of-language-and-propositional-attitudes-micro-158147
  • "Philosophy of Language." Nature Research Intelligence, 15 Juli 2025. https://www.nature.com/research-intelligence/nri-topic-summaries/philosophy-of-language-for-l3-500314
  • "University of New Mexico graduate workers demand administration to stop using deadnames." Source New Mexico, 20 November 2024. https://sourcenm.com
  • "Google workers are pushing the company to use preferred names on ID badges and drop deadnames." Business Insider, 2 Juni 2021. https://www.businessinsider.com
  • "IMDb Will Allow Trans Actors To Remove Deadnames From Their Database." RVA Mag, 15 Agustus 2019. https://rvamag.com
  • Dowden, Bradley. "Philosophy of Language." California State University, Sacramento, 10 September 2003. https://www.csus.edu/indiv/d/dowdenb/154/154-f03.htm
Download PDF tentang Semantik Deadname: Analisis Fi (telah di download 0 kali)
  • Deadname 💬 dalam Filsafat Bahasa: Studi Semantik dan Etika Nama Transgender
    Deadname atau nama yang ditolak—istilah untuk nama lama seseorang yang telah melakukan transisi gender—kini menjadi topik menarik dalam filsafat bahasa. Elek Lane, filsuf dari Blog of the APA (American Philosophical Association), mengangkat fenomena ini sebagai jembatan antara teori semantik tradisional dengan realitas sosial kontemporer.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.