{!-- ra:00000000000003ec0000000000000000 --}Menyeimbangkan 🏛️ Kewarganegaraan Demokratis dan Agensi Epistemik - SWANTE ADI KRISNA
cross
Hit enter to search or ESC to close
Menyeimbangkan 🏛️ Kewarganegaraan Demokratis dan Agensi Epistemik
8
October 2025

Menyeimbangkan 🏛️ Kewarganegaraan Demokratis dan Agensi Epistemik

  • 2
  • 08 October 2025
Menyeimbangkan 🏛️ Kewarganegaraan Demokratis dan Agensi Epistemik

Dilema Antara Tanggung Jawab Epistemik dan Demokrasi

Media massa sering menyalahkan kombinasi misinformation (misinformasi), algoritma berbahaya, dan bias media sebagai penyebab kemunduran demokrasi kontemporer.1 Solusinya tampak sederhana: bersihkan lingkungan informasi dan tingkatkan cara konsumsi informasi masyarakat. Namun pertanyaannya, bagaimana jika menjadi agen epistemik yang bertanggung jawab justru merusak demokrasi?

Miguel Egler, seorang filsuf, mengajukan pertanyaan provokatif ini dalam artikelnya di Blog of the APA. Ketika tetangga dan keluarga kita terperangkap dalam ide-ide yang hampir tidak memiliki koneksi dengan fakta—dan hanya menguntungkan segelintir aktor politik—wajar jika kita berpikir solusinya adalah responsif terhadap bukti yang tidak bias.1 Tapi realitasnya lebih kompleks.

Penelitian Terbaru Epistemologi Politik

Beberapa penelitian terkini menunjukkan ketegangan antara menjadi agen epistemik yang baik dengan menjadi warga negara demokratis yang baik. Alex Worsnip berargumen bahwa menjadi agen epistemik yang bertanggung jawab dapat secara tidak adil mengalihkan kekuatan politik ke lawan politik seseorang.1

Michael Hannon menemukan bahwa warga negara yang lebih berpengetahuan cenderung memiliki keyakinan politik yang bias dan dogmatis. Dalam kolaborasinya dengan Ian Kidd, mereka menunjukkan bahwa intellectual humility (kerendahan hati intelektual) dapat menyebabkan apati politik.1 Egler sendiri berpendapat bahwa menjadi agen epistemik yang baik mungkin memerlukan penangguhan keyakinan politik—yang berarti menjauh dari kehidupan politik dan merusak pemerintahan sendiri.

Dilema Ganda: Terjebak di Antara Dua Pilihan Buruk

Situasinya menciptakan dilema serius. Di satu sisi, agensi epistemik yang baik dapat merusak prinsip demokratis. Di sisi lain, agensi epistemik yang buruk juga berbahaya bagi demokrasi.1 Kita membutuhkan mekanisme truth-tracking (pelacakan kebenaran) dalam prosedur pengambilan keputusan politik—tidak cukup hanya mengandalkan koin atau lotre acak untuk memilih kebijakan publik.

Ini berbeda dari kritik familiar terhadap demokrasi seperti argumen Jason Brennan untuk epistokrasi (pemerintahan oleh yang berpengetahuan) atau Alexander Guerrero untuk lottocracy (pemerintahan berbasis lotre).1 Argumen-argumen tersebut masih kompatibel dengan ide bahwa agensi epistemik bertanggung jawab dapat melayani tujuan demokratis. Namun dilema yang dihadapi Egler lebih suram karena menyarankan tujuan demokratis dan epistemik mungkin secara fundamental bertentangan.

Konsepsi Zetetik: Demokrasi sebagai Investigasi Bersama

Alih-alih putus asa, Egler mengusulkan untuk memikirkan ulang makna menjadi warga negara demokratis yang baik. Ia menawarkan apa yang disebutnya "konsepsi zetetik demokrasi"—melihat pengambilan keputusan demokratis sebagai sejenis investigasi bersama.1

Ketika kita berkumpul membuat keputusan demokratis, kita harus menganggap diri kita sebagai peserta dalam investigasi bersama. Secara khusus, menyelidiki pertanyaan seperti "apa yang harus kita lakukan tentang masalah kepentingan bersama ini?"1 Misalnya, saat memutuskan tingkat pajak penghasilan yang tepat, kita seharusnya melihat diri kita sebagai bersama-sama menginvestigasi pertanyaan "apa yang harus kita lakukan tentang isu perpajakan penghasilan?"

Inspirasi dari Filsafat Sains

Egler mengambil inspirasi dari para filsuf sains yang telah lama memikirkan hakikat investigasi bersama dan aturan yang harus diikuti pesertanya.1 Walaupun epistemologi kontemporer juga membuat kemajuan di arah ini, filsafat sains menawarkan perspektif lebih informatif.

Investigasi ilmiah jelas memiliki ambisi epistemik—bertujuan meningkatkan posisi epistemik kita terkait masalah ilmiah. Tetapi kita semua setuju bahwa tujuan epistemik ini dibatasi oleh aturan moral. Misalnya, para ilmuwan tidak boleh menyiksa orang untuk mengungkap kebenaran.1 Demikian pula, pertimbangan pragmatis dapat membatasi standar epistemik—urgensi perubahan iklim dapat membantu menentukan apa yang dianggap bukti cukup untuk menerima teori dalam sains iklim.

Pelajaran dari Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 memberikan ilustrasi sangat baik tentang trade-off (pertukaran) dinamis ini. Selama krisis, sebagian besar ilmuwan setuju bahwa tujuan epistemik lebih penting dan standar etis untuk penelitian harus disesuaikan agar lebih cepat sampai pada penemuan untuk menyelesaikannya.1 Namun, mereka juga setuju standar tersebut harus diterapkan kembali setelah krisis berlalu.

Observasi umum ini terbukti krusial untuk memahami bagaimana investigasi ilmiah benar-benar bekerja dan apa yang harus kita harapkan dari para ilmuwan. Dalam penelitiannya saat ini, Egler mengeksplorasi bagaimana pelajaran yang sama dapat diperluas ke kasus politik.1

Kewarganegaraan Demokratis yang Baru

Proposalnya adalah berpikir tentang warga negara sebagai peserta dalam investigasi kolektif—di mana mereka terus-menerus menimbang pencarian kebenaran terhadap kekhawatiran moral, praktis, dan pragmatis—dan ini dapat secara fundamental mengubah apa yang kita maksud dengan "kewarganegaraan demokratis yang baik."1

Dengan membingkai kewarganegaraan demokratis dengan cara ini, konflik yang seharusnya antara demokrasi dan agensi epistemik dapat larut. Demokrasi pun dapat bertahan untuk melihat hari lain.1 Ini bukan sekadar reformasi struktural, tetapi reformasi moral dan filosofis yang mendesak dalam memahami peran warga negara.

Konteks Demokrasi Indonesia

Di Indonesia, diskusi tentang kualitas demokrasi terus berlangsung. Indeks Demokrasi Indonesia menunjukkan dinamika yang perlu diperhatikan.2 Partisipasi publik dalam ruang demokratis—seperti kehadiran dalam upacara bendera di Istana Negara—membawa makna mendalam tentang keterlibatan warga negara.3

Manipulasi opini di ruang digital telah menjadi ancaman nyata bagi demokrasi, dan gerakan masyarakat sipil dianggap sebagai harapan untuk mengatasinya.4 Pendidikan kewarganegaraan demokratis juga menjadi perhatian—seperti program DEMOKRASI yang mengajak siswa SMA mengasah kemampuan berargumentasi.5

Kesimpulan

Ketegangan antara menjadi agen epistemik yang bertanggung jawab dan warga negara demokratis yang baik bukanlah jalan buntu. Melalui konsepsi zetetik demokrasi—memahami partisipasi demokratis sebagai investigasi bersama yang menyeimbangkan pencarian kebenaran dengan pertimbangan etis dan praktis—kita dapat menemukan jalan untuk merekonsiliasi kedua tujuan tersebut. Demokrasi memerlukan tidak hanya informasi yang akurat, tetapi juga warga negara yang bijak dalam menimbang berbagai pertimbangan dalam konteks kolektif mereka.

Daftar Pustaka

Download PDF tentang Rekonsiliasi Kewarganegaraan D (telah di download 12 kali)
  • Menyeimbangkan 🏛️ Kewarganegaraan Demokratis dan Agensi Epistemik
    Penelitian ini mengeksplorasi ketegangan fundamental antara tanggung jawab epistemik dan partisipasi demokratis melalui konsepsi zetetik demokrasi. Dengan melihat pengambilan keputusan demokratis sebagai investigasi kolektif yang menyeimbangkan pencarian kebenaran dengan pertimbangan moral dan pragmatis, artikel ini mengusulkan kerangka baru untuk memahami kewarganegaraan demokratis yang mengintegrasikan agensi epistemik bertanggung jawab tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokratis fundamental.
Penulis
Swante Adi Krisna
Penikmat musik Ska, Reggae dan Rocksteady sejak 2004. Gooners sejak 1998. Blogger dan SEO paruh waktu sejak 2014. Graphic Designer autodidak sejak 2001. Website Programmer autodidak sejak 2003. Woodworker autodidak sejak 2024. Sarjana Hukum Pidana dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Magister Hukum Pidana di bidang cybercrime dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta. Magister Kenotariatan di bidang hukum teknologi, khususnya cybernotary dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surakarta. Bagian dari Keluarga Besar Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.